Sabtu, 25 Juli 2009

Perubahan Format KKN



DEWASA ini, pro-kontra seputar efektivitas penyelenggaraan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang diadakan berbagai perguruan tinggi menjadi topik yang marak diperbincangkan. Wacana tersebut mengemuka seiring dengan banyaknya kritikan berbagai pihak tentang pelaksanaan KKN yang hasilnya jauh dari harapan dan disinyalir banyak ditemukan kecurangan.

Indikasinya antara lain, tidak sedikit mahasiswa yang menjadikan kegiatan KKN hanya sekadar liburan, pindah tidur dan makan, atau bahkan dijadikan sebagai ajang mencari jodoh. Parahnya, kalau sampai kegiatan KKN-nya malah dikesampingkan. Jika mahasiswa sampai bersikap demikian, tentu programnya tidak akan tuntas. Tidak jarang mahasiswa melakukan praktik manipulasi laporan KKN, ketika programnya belum selesai. Jika manipulasi laporannya ’’sempurna’’ tentu nilainya juga bagus. Hal itu sudah menjadi rahasia umum.

Dampaknya, tak sedikit perangkat desa yang terang-terangan menolak pelaksanaan KKN di desanya. Banyak faktor penyebabnya. Pertama, karena sikap mahasiswa yang cenderung tidak serius dan asal-asalan saat melaksanakan kegiatan KKN. Kedua, mungkin ’’gengsi’’ beberapa aparat jika desanya digunakan sebagai tempat KKN, karena ada anggapan desa lokasi KKN identik dengan desa tertinggal. Meski pelaksanaan KKN dirasa masih banyak kekurangan (bahkan sebagian perguruan tinggi sudah meniadakan KKN), sebaiknya program tersebut jangan ditiadakan. Banyaknya pelanggaran dikarenakan format pelaksanaannya belum tegas dan tidak mengikat. Untuk mengatasi hal itu, format KKN perlu diubah menjadi lebih mengikat seperti sistem kontrak.

Selain itu, sebelum melaksanakan KKN, mahasiswa diwajibkan melakukan observasi ke lapangan dan mengidentifikasi persoalan-persoalan masyarakat. Setelah itu, menawaran solusi masalah yang ditulis dalam proposal, disertai kesepakatan hitam di atas putih oleh pihak-pihak yang terkait, semisal kepala desa, instansi penyelenggara KKN, dan para mahasiswa. Dengan menerapkan sistem observasi awal dan format mengikat seperti ini, diharapkan mahasiswa lebih serius dalam melaksanakan program KKN.



(Tulisan di atas pernah dimuat di koran Suara Merdeka, rubrik debat Kampus, Sabtu, 25 Juli 2009)

Muhammad Noor Ahsin
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang.

Selasa, 21 Juli 2009

Resepsi Nikah dan Silaturakhim Santri Ponpes Durrotu Aswaja


Pagi itu, sang mentari sudah mulai bangun dari peraduannya. Pantulan cahayanya yang masih lembut, perlahan mulai menyinari halaman parkir Pondok pesantren Durrotu Ahlissunnah Waljama’ah (ASWAJA), Banaran, Sekaran, Gunungpati Semarang.

Suasananya pagi itu, Sabtu, (18/7/2009) boleh dikatakan sangatlah cerah. Pada kesempatan itu adalah hari yang sangat spesial. Hal itu karena, Salah satu santri alumni Aswaja yang bernama Yeni Richa Rahmawati, S.Pd. (Alumni Jurusan Bahasa Inggris Unnes) putri Bapak Maskan, S.Ag. akan bersanding di pelaminan dengan lelaki pujaan hatinya, M. Wahidin, S.Pd.I, M.Pd. putra dari bapak Subari (Batang). Pada momen berbahagia itu, Abah kyai Masrokhan (Pengasuh Ponpes Durrotu Aswaja) dan semua santri diberi kehormatan untuk menghadiri prosesi akan nikah dan resepsi kedua mempelai yang jadwalnya akan dilaksananakan pada pukul 13.00 WIB, di kediaman pengantin putri, bertempat di Desa Gading, Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang.

Untuk menghadiri undangan tersebut, Pengurus Aswaja dan santri Zerofour sebelumnya sudah mempersiapkan agenda pemberangkatan dari Semarang ke Rembang dengan cukup baik. Kini tibalah, saatnya mulai melaksanakan agenda tersebut pada Hari H-nya.

Sebelum berangkat, Kala itu, setelah mengikuti jama’ah sholat subuh di Aula Pondok, kebanyakan santri baik putra dan putri langsung mandi dan berdandan rapi. Baik di pondok putra ataupun putri, Suasana keriuhan dan keramaian menjelang pemberangkatan sangat terasa sekali gaungnya. Khusus untuk pondok putri, suasana keriuhan itu sedikit terdengar oleh santri-santri putra aswaja dari balik dinding pembatas pondok. Hal itu mungkin dikarenakan persiapan mereka meliputi seperti mandi, dandan, dan berhias yang cukup lama.

Maklum saja, santri putri itu beda banget dengan santri putra. Kalau santri putra paling-paling kalau dandan waktunya sekitar 5 menit, mungkin malah kurang dari itu, alias sangat singkat. Tapi, kalau santri putri, tidak bisa dikatakan sebentar, alias sangat lama. Bisa, 5, 10, 15 atau ada yang sampai 30 menit. Hal itu sih lumrah, mengingat seorang perempuan itu identik dengan keindahan. Jadi ketika mereka menghias diri untuk mempercantik diri dengan waktu yang lama itu merupakan suatu hal yang memang seharusnya dilakukan. Tapi ingat mbak, niat berhias itu harus diniati ibadah. Jangan dilandasi agar dipuji dan di elem kange ya. He 333x.

Tepat pukul 06.00 WIB dua mobil warna putih dan biru sudah menunggu di depan warung kita. Setelah selesai berdandan semua santri putra-putri dan abah Kyai Masrokhan menuju mobil. Kurang lebih sekita 30 orang berangkat dengan dua mobil. Di samping itu juga ada sebagian santri yang menggunakan sepeda motor. Kurang lebih jika di total ada 50-an orang yang akan berangkat ke sana.

Yang berangkat dengan mobil, semua santri langsung masuk ke mobil. Setelah semuanya masuk, dan sudah siap, abah Kyai masrokhan meminta salah seorang santri untuk Adzan agar selamat, yang ditunjukk adzan kala itu adalah Gus Ipul (Syaiful Anwar). Setelah selesai adzan dilanjutkan dengan do’a yang dipimpin Abah kyai. Hal itu bertujuan supaya perjalanan kesana nanti selalu dirahmati Allah dan dihindarkan dari marabahaya agar semua santri selamat sampai tujuan.

Iringan Sholawat Dalam Mobil

Setelah selesai berdo’a mobil langsung berangkat. Kebetulan, pada saat itu aku satu mobil dengan abah kyai Masrokhan. Abah duduk di depan dengan kang Arif Syaifurrahman (Lurah Pondok pesantren durrotu Aswaja) bersama Pak sopir. Kemudian di Shof mobil nomor dua, dari pojok kanan ada kang Abdullah Said, terus aku (M. Noor Ahsin), kang Ahmad Syaifuddin, dan kang Arif Mahmudi (Ardi).

Di shof mobil nomor 3 ada, mbak Ana Ifadah, mbak Mabul (mantan bu lurah) mbak Musta’anah, mbak Maghfiroh (vivi), dan Bu lurah putri ponpes durotu Aswaja yang baru, siapa kalau bukan mbak Nur Laela dari Jepara (panggilan Akrabnya Mbak Ela). Kemudian di shof mobil paling belakang ada mbak Fani, mbak Luluk Matofani, dan mbak kholipuk.

Seperti biasa, ketika bepergian dengan Abah, pada awal perjalanan selalu diiringan dengan bacaan Sholawat nabi. Pagi itu pun demikian. Sekitas 15 menit, Sepanjang perjalanan dari sekaran sampai di Jalan tol Jatingaleh, rombongan kami tak henti-hentinya membaca sholawat nabi. Terlihat sangat khusuk sekali santri2 mengalunkan syair tersebut. “Sholatullah salamullah Ala thoha rosulillah, sholatullah salamullah ala yasiiin khabibillah………dst.” Demikianlah kira-kira bunyi syair sholawat tersebut.

Setelah selesai membaca sholawat nabi, kemudian dilanjutkan dengan obrolan ringan dalam mobil. Abah tak henti-hentinya menularkan ilmu dan pengalaman dengan nuansa ringan dan canda tawa yang segar. Kami pun sesekali mendengarkan dengan seksama, ketika ada yang lucu kami pun sering tertawa lepas bersama-sama. Pokoknya enak banget dech kalau kita berangkat bepergian satu mobil dengan abah. Rasa aman, adem ayem pun terasa. Di samping itu, kalau bersama abah, secara sadar atau tak sadar kami pun di beri suguhan mauidhoh dengan untaian kata mutiara beliau yang dikemas dengan bahasa yang santai, enak , humor, penuh tawa, tapi tetap bermutu.

Selain itu, juga kebetulan kami satu mobil dengan mbak magfiroh (Vivi) dari pekalongan dan mbak Musta’anah dari Kudus. Perlu diketahui, dua orang ini sangat hobi dengan yang namanya ngobrol, bercanda dan sebagainya. Boleh dibilang seperti tumbu oleh tutup, kalau sudah ketemu bercandanya sepertinya gak ada titik komanya. Ngomong terus sampai kemana-mana. Kalau saya menilai, bepergian dengan dua orang ini boleh dikata bisa senang dan juga bisa susah.

Senangnya karena semua rombongan bisa terhibur dan tidak ngantuk ketika mendengar celotehnya mereka yang super kocak tapi kadang terasa wagu. Susahnya, ketika semua sudah capek dan mereka masih ngomong terus, secara otomatis kadang merasa jenuh juga dengan canda tawa mereka. Jadi dianjurkan, porsi bercandanya dosisnya harus pas sesuai anjuran dokter, dan jangan berlebih. Biar santri kalau mendengar celoteh dan bercandanya njenengan tidak over dosis. (Sory ya mbak vivi an mbak mustaanah, aku bercanda kok…just kidding. He 45x).

Prosesi Akad Nikah
Sekitar pukul 11.00 WIB, rombongan sudah sampai di rumahnya mbak Richa di Rembang. Perjalanannya memakan waktu kurang lebih 4,5 jam. Setelah itu, kami pun langsung menuju Masjid yang berada di belakang rumah mbak Richa untuk sekadar wudhu, istirahat, cuci muka, dan sebagainya. Setelah cukup istirahatnya, kemudian sesi prosesi akad nikah pun akan segera dimulai. Prosesi akan nikah dilaksanakan di Masjid tersebut, Mas wahidin dan mbak Richa pun didandani dengan pakaian yang sanga bagus dan indah. Keduanya sungguh sangat tampan dan cantik, seperti kaya raja dan permaisuri saja pikirku. Pada prosesi akad nikah tersebut Abah Masyrokhan pun diminta memimpin jalannya akad nikah. Sebagian hadirin pun menyaksikan prosesi sakral tersebut.

Ijab qobul pun diucapkan dengan lancar, disaksikan oleh para wali masing-masing mempelai dan puluhan para hadirin yang hadir. Setelah dirasa selesai, akad nikah pun ditutup dengan doa. Setelah prosesi sakral tersebut, itu artinya kedua mempelai telah syah menjadi sepasang suami istri. Peribahasa sederhananya, “punyaku adalah punyamu, punyamu juga punyaku.”

Setelah itu, kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Tempatnya berada di depan rumah mbah Richa. Di tempat itu sudah ada mimbar dan dekorasi pernikahan yang dirancang sangat indah dan unik. Pokoknya baguslah. Di mimbar itu telah duduk sepasang mempelai, yaitu mas Wahidin dan Mbak Richa yang dikanan kirinya ada wali nikah yang duduk dipinggir dekorasi pernikahan.

Dua pasang senyum dari kedua mempelai pun tampak mekar tersungging lebar. Para kameramen dan para fotografer yang dipesan pun tak lupa mengabadikan momen berbahagia tersebut. Tidak lupa kang Sutoyo Siswo Miharjo anggota Zerofour yang membawa kamera digital pun turut berdiri di depan mimbar dan terlihat jeprat-jepret mengabadikan moment tersebut.

Di satu sisi, para hadirin pun juga merasa gembira menyaksikan proses acara tersebut. Kang2’e dan mbak2’e yang ikut menyaksikan acara tersebut pun ikut merasa bahagia dan senang. Boleh dikata, pada hari tersebut, kedua mempelai serasa ratu dan raja. Bagi yang sudah pernah menikah tentu saja sudah merasakan bagaimana enaknya menjadi ratu dan raja dalam sehari dalam konteks prosesi pernikahan. Tapi bagi kang2’e dan mbak’e atau mungkin tamu hadirin yang belum nikah tentu merasa penasaran. Sedahsyat apa kira-kira enaknya jika menjadi raja dan puri sehari ya?

Jawabannya jelas, sangat sulit diungkapkan. Pokoknya sangat indah dan romantis. Apalagi kalau sudah tiba saat-saat mendebarkan dan boleh dibilang saat terindah seperti malam pertama (MP), sangatlah tak bisa diungkapkandengan kata-kata. Bisanya diungkapkannya dengan agresifitas dan lengkuhan tenaga yang biasanya ditandai dengan cucuran keringat dan diakhiri dengan kepuasan nikmat bersama. (pembaca yang belum nikah kalau merasa normal pasti kepengen ya..? jangan dibayangkan ya, tapi kalau dah terlanjur, resiko ditanggung sendiri. He..4545x).

Makanya, bagi kang2’e dan mbak2’e yang sudah kebelet pengen merasakan ibadah yang paling nikmat berupa nikah, ayo ndang cepet golek atau menunggu “proposal masuk”. Khususe mbak2’e. biasanya wanita itu lebih dulu cepat menikah daripada lelaki. Kalau lelaki di bawah 30 tahun belum nikah sih wajar, karena mungkin masih pengen kerja mapan dulu. Tapi bagi wanita, kalau di atas 25 tahun belum nikah, nanti malah repot. Bisa di cap perawan tua. Tentunya gak mau kan?

Silaturahmi ke Tuban
Setelah beberapa lama menyaksikan acara tersebut, Abah Kyai pun mengajak untuk Pamitan. Sekitar pukul 14.15 WIB, kami pun langsung pamitan. Sebelum pamit, beberapa santri putra dan putri pun bersalaman kepada kedua mempelai dan sejenak ikut foto bareng sebagai kenang-kenangan. Khusus, untuk santri aswaja angkatan 2004 yang akrab lebih popular di sebut zerofour, memberikan kado spesial berupa piagam Aswaja Award yang diwakili oleh mbak Arik (zumrotul Arifah). Cipika-cipiki (cium pipi kanan, cium pipi kiri) antara santri aswaja putrid dengan mempelai putrid pun menjadi tontonan dan pemandangan yang sudah tidak asing.

Kemudian, setelah semua pamitan, kami semua langsung pulang. Tetapi sebelum pulang ada agenda lagi yang biasanya tidak terlewatkan, yaitu mampir-mampir ke beberapa santri lain yang dekat. Pada kesempatan itu, ada tiga rumah santri Aswaja yang akan dikunjungi, Pertama ke rumah mbak Arik (zumrotul Arifah) dan kang Ahmad Syaifuddin, Keduanya santri Tuban Jawa timur. Lalu yang ketiga akan berkunjung ke rumah mbak A’yunil Hisbiyah di Rembang.

Setelah mampir ketiga rumah santri tersebut, rombongan pun pulang menuju Semarang. Rombongan yang mengendarai mobil bertolak dari Rembang pukul 20.30 WIB lalu sampai di Semarang Pukul 00.00 WIB dengan keadaan selamat. Alhamdulilah………….


Muhammad Noor Ahsin
Reporter Tabloid Nuansa Unnes
Santri Ponpes Durrotu Aswaja Semarang.