Senin, 28 November 2011

Pendidikan Karakter Melalui Teater


KUDUS-Beberapa siswa kelas XI-C (Bahasa 1) melakukan pentas teater di ruang multi media, lantai 3 gedung utara MA NU TBS Kudus. Mereka mementaskan teater dengan judul “Maafkan Aku Guru” yang dipentaskan baru-baru ini . Naskah teks teater dibuat sendiri dan disutradarai langsung oleh M. Syaifun Nasir, selaku siswa kelas XI-C MA TBS.

Sebenarnya pentas ini merupakan tugas akhir semester mata pelajaran sastra, bagi kelas XI Bahasa. Yaitu tugas praktik pelajaran Sastra Indonesia. Sebelumya mereka diberi penjelasan tentang materi pementasan tetater atau drama. Selain itu siswa juga sudah manyaksikan contoh video pemantasan drama dan sebagainya.

Selain kelas XI-C, penampilan teater juga dilakukan oleh kelas XI-D (bahasa 2). Dalam satu kelas dibagi menjadi empat kelompok. Sehingga, karena ada dua kelas, jadi semua yang tampil ada 8 kelompok. Tiap kelompok berjumlah sekitar 10 orang. Dalam satu kelompok ada yang jadi pengarang naskah, sutradara, pemain atau aktor, seksi artistik, perlengkapan, dan sebagainya.

Harapan dari tugas ini siswa akan mendapatkan pengalaman langsung dalam bermain teater atau drama. Praktik langsung itu dirasa sangat penting. Karena dengan praktik mereka lebih memahami dan merasa mampu mengaplikasikan ilmu sastra yang diperoleh.
Salah satu siswa yang telah mementaskan naskah tetaet menyatakan, “Ada kesan menyenangkan dan menyedihkan yang saya alami ketika bermain teater. Dengan bermain teater dapat menggugah perasaan kita dalam menyelami arti hidup. Dan melatih kepekaan perasaan kita terhadap sesama” Kata M. Nailul Fahmi, salah satu pemain drama, kelas XI-C MA NU TBS.

Pendidikan Karakter

Karya sastra berupa naskah teater dapat membuat penulis dan pembaca dekat dengan kehidupan. Naskah teater yang dipentaskan dapat pula melatih kepekaan perasaan, melatih rasa simpati dan empati terhadap sesama. Sehingga bermain teater merupakan salah satu alternatif mananamkan pendidikan karakter kepada generasi bangsa (para pelajar) yang dewasa ini dinilai sangat penting.

Melalui karya sastra sering diketahui keadaan, cuplikan-cuplikan kehidupan masyarakat seperti dialami, dicermati, ditangkap, dan direka oleh pengarang. Bahkan, seringkali sebuah suasana tertentu dapat lebih dihayati dengan membaca dan mengapresiasi sebuah cerpen, novel atau sebiji sajak, atau mementaskan naskah teater daripada membaca suatu laporan penelitian yang ilmiah.

Pendidikan sastra yang merupakan ilmu humaniora harus terus diupayakan oleh guru bahasa Indonesia di sekolah. Karena ilmu sastra berperan sangat besar menanamkan nilai-nilai investasi moral masa depan dan melatih pendidikan karakter, mengingat sastra itu berbicara tentang manusia dan kemanusiaan.

(Tulisan di atas pernah dimuat di Suara Muria Suara Merdeka, di rubrik Jurnalisme Warga pada Senin, 4 Desember 20011).

Oleh Muhammad Noor Ahsin,
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
MA NU TBS, kelurahan Kajeksan, Kudus.

Jumat, 25 November 2011

Kholil dan Yasin Juara Karya Ilmiah


Kudus-Siswa Madrasah Aliyah NU TBS Kudus berhasil meraih juara II lomba Karya Ilmiah Remaja (KIR) yang diadakan Himpunan Mahasiswa (HIMA) Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes Semarang pada Sabtu, (19/11) 2011. Untuk juara 1 diraih oleh SMA 1 Kendal, sedangkan juara 3 diraih oleh SMA 5 Semarang.
Tim karya ilmiah MA NU TBS terdiri dari dua orang. Pertama M. Kholilur Rohman Sebagai Ketua Tim, dan Yasin Hakim sebagai anggota. Mereka membuat KIR dengan Judul, “Sanggar Sampah Kreatif Upaya Generasi Muda dalam Mengolah Limbah Sampah keluarga menjadi barang yang inovatif dan bernilai Ekonomis.”
Ide pembuatan karya ilmiah itu dilatarbelakangi oleh masih banyaknya sampah yang belum tertangani secara baik di masyarakat. Kholil mengatakan, “Pemuda yang notabene sebagai penerus bangsa, hendaknya dapat mengolah dan memanfaatkan sampah keluarga menjadi barang yang inovatif dan bernilai ekonomis.” Kata Kholil.
Sampah anorganik bisa dibuat berbagai macam kerajinan inovatif, sedangkan sampah organik bisa diolah menjadi pupuk kompos. Gambaran singkat tentang kegiatan “Sanggar Kreatif Sampah” adalah mengumpulkan limbah sampah hasil rumah tangga, kemudia menyeleksi sampah tersebut dan dioleh menjadi berbagai macam kerajinan yang kreatif. Pendistribusian hasil kerajinan itu pun salah satunya dengan membuat distro sampah yang di dalamnya dijual barang kerajinan dari sampah.
Prestasi tersebut merupakan buah dari kerja keras dan pembinaan KIR yang konsisten di MA NU TBS. “Semoga prestasi ini dapat memacu siswa lainnya, agar terus belajar dan berupaya untuk memberikan solusi atas segala permasalahan yang ada di masyarakat.” Tutur Bapak Ali Mahsun, S.Ag Selaku Wakil kepala MA NU TBS bidang kesiswaan.

Oleh Muhammad Noor Ahsin, S.Pd,
Pembina KIR MA NU TBS.

Pelatihan Menjahit di Balai Desa Klumpit


KUDUS-Malam hari bukan menjadi penghalang bagi warga desa klumpit untuk mengikuti pelatihan menjahit yang di fasilitasi oleh UPT BLK Dinsosnakertrans Kudus. Pelatihan tersebut dilaksanakan setiap malam hari, terhitung mulai tanggal 1-30 Nopember 2011 di Aula balai desa Klumpit, kecamatan Gebog Kudus.

Pelatihan ini bersifat MTU (Mobile Training Unit) yaitu pelatihan yang dilaksanakan di luar UPT BLK sehingga memudahkan warga masyarakat yang terkendala dengan jarak dan transportasi untuk bisa tetap mengikuti pelatihan dikarenakan para petugas pendamping dari BLK yang siap datang mendampingi di lokasi pelatihan.

“Saya mengucapkan terimakasih kepada UPT BLK yang telah memfasilitasi pelatihan menjahit ini. Dengan pelatihan ini, saya dapa ilmu, tmemiliki keterampilan, dan bertambah banyak teman.” Kata Indah, peserta pelatihan menjahit selaku warga Klumpit.

Diharapkan dengan bekal ilmu yang didapat selama mengikuti pelatihan, para peserta pelatihan bisa lebih terampil terlebih dengan sarana yang informasinya akan diberikan pasca pelatihan akan membantu alumni agar bisa digunakan untuk keperluan pribadi terlebih bisa menjadikan profesi bagi alumni pelatihan.

Senin, 14 November 2011

Biografi Perjalanan Hidup Soe Hok Gie


Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.


Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.


Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

Makam soe Hok Gie
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.
Catatan Seorang Demonstran


John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.
Kata Kata Soe Hok Gie
• Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
• Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
• Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
• Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
• Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
• Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
• Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
• Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
• Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
• Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
• Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
• Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
• Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
• To be a human is to be destroyed.
• Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
• Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
• I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
• Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
• Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
• Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
• Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Referensi :
- http://prasetyaade.blogspot.com/2006/12/presiden-soekarno-presiden-pertama.html
- http://yulian.firdaus.or.id/2004/12/16/soe-hok-gie/
- http://id.wikipedia.org/wiki/Soe_Hok_Gie
- http://dasonly.blogspot.com/2009/05/soe-hok-gie-dalam-kata-kata.html

Persiapan Pentas Teater MA NU TBS

Beberapa siswa kelas XI D melakukan latihan pentas teater pada hari Selasa, 15 November 2011 di ruang multi media lantai III MA NU TBS Kudus. Mereka berkumpul tiap kelompoknya masing-masing untuk membahas persiapan pentas teater.

Dalam satu kelas saya bagi menjadi empat kelompok. Tiap kelompok berjumlah sekitar 10 orang. Dalam satu kelompok ada yang jadi sutradara, pemain, seksi perlengkapan dan sebagainya. Beberapa siswa yang jadi pemain naskah drama ada yang sedang berlatih vokal, dialog, gerakan tubuh ketika pentas dan lain-lain. Tampak dari mereka sangat menikmati latihan tersebut.

Sebenarnya pentas ini merupakan tugas akhir semester mata pelajaran sastra. Yaitu tugas praktik. Sebelumya mereka saya beri penjelasan tentang materi pementasan drama. Selain itu manyaksikan contoh video pemantasan drama dan sebagainya.

Harapan dari tugas ini siswa akan mendapatkan pengalaman langsung dalam bermain teater atau drama. Praktik langsung itu dirasa sangat penting. Karena dengan praktik mereka lebih memahami dan merasa mampu mengaplikasikan ilmu sastra yang diperoleh.

Pementasan awal untuk kelas XI D akan dilaksanakan pada hari Selasa, 22 November 2011. pada hari selasa nanti kelompok yang akan pentas yaitu kelompok 1 dan kelompk 2. kelompok satu di sutradarai oleh Faiq Zamzami. Sedangkan kelompok 2 disutrasdarai oleh yahya Abdul Hanif.
Untuk kelompok 3 dan kelompok 4 rencananya akan dilaksanakan pada hari Kamis, 24 November 2011. kelompok 3 disutradarai oleh Sirrul Wafa. Sedangkan kelompok 4 disutradarai oleh Abidirouf Asmawi.


Oleh Muhammad Noor Ahsin

Perjalananku Menuju Madrasah TBS Kudus

Kala itu, matahari mulai menyinari rumahku, di desa di Besito Kauman Kecamatan Gebog Kudus,pada hari Seni, 14 November 2011. Setelah berpakaian rapi, Aku bergegas ke luar rumah. Setelah siap, lalu aku berangkat menuju sekolah di MA NU TBS Kudus. Dengan menggunakan sepeda motor, saya Menuju ke arah selatan. Dari perempatan di Toko milik Bung tomo lalu aku belok ke kanan. Kurang lebih sekitar 200 meter saya sampai di jalan raya. Jalan raya Besito raya. Di sebuah pertigaan, sebelah utara kantor BRI unit Gebog. Sebelumnya saya melihat orang-orang bermain di lapangan voli, di sebelah kiri jalan, dan juga ada tempat selepan padi di kanan jalan.

Setelah melihat ke kiri dan ke kanan, aku langsung meluncur menggunakan motor Shogun merahku ke sebelah selatan. Melewati pasar Besito Kecamatan Gebog lalu lurus ada pabrik benang yang kebanyakan orang menyebutnya dengan nama Tubantia. Selang beberapa menit sampai di perempatan Besito. Di perempatan Besito laju kendaraan saya tidak saya percepat. Karena di situ ada bayak siswa siswa berseragam putih biru dari sisi kiri jalan yang akan menyeberang ke kanan jalan. Mereka adalah murid-murid SMP 2 Gebog. Biasanya kalau pagi di perempatan besito memang selalu ramai.

Dari perempatan itu lalu saya meluncur ke selatan. Melewati desa Karang Malang. Di kiri dan kanan jalan banyak saya jumpai berbagai tanaman. Yang hijau dan menambah suasana jadi tambah asyik. Tidak lama berselang saya telah melewati perempatan panjang, yang ada di barat. Lalu saya meluncur lagi ke selatan. Melewati rumah tukang sunan, yaitu pak totok yang ada di desa peganjaran. Lalu melewati pertigaan gribig, kemudian sampailah di pertigaan sebelah selatan pabrik elektronik Polytron di kota Kudus.

Dari pertigaan itu lalu saya ambil arah ke kiri. Meuju ke arah perempatan sutjen. Jika pagi hari, di perempatan sutjen ini saya selalu menjumpai seseoang lelaki yang berdiri di tengah jalan. Sambil membawa sempritan. Pakaiannnya seperti pakaian polisi. Ia memamai baju warna coklat, dengan penutup kepala mirip seorang polisi. Pakaiannya kelihatan lusuh. Tubuh orang itu pun sangat jauh dari kesan gagah. Tubuhnya kurus dan agak dekil. Kulihat juga ada pistol mainan dari kayu yang diselipkan di pinggangnya sebelah kanan.

Dia sebenarnya tidak seorang polisi. Menurut beberapa orang yang pernah kutanyai. Orang tersebut dulu memang ingin menjadi seorang polisi. Karena cita-citanya tidak kesampaian mentalnya pun terganggu. Tapi dia tidak galak. Bahkan baik hati membantu orang lain dengan “menjadi polantas amatir” di perempatan sutjen. Jasanya memang banyak. Walaupun tidak pernah digaji, tapi dia tetap setia menjadi seorang polantas di pagi hari. Terkadang, orang yang kasihan pun menghampirinya dengan memberikan uang, rokok, bungkus jajanan dan sebagainya. Hal itu menunjukkkan bahwa masyarakat meilimki kepedulian social yang tinggi terhadap orang tersebut.

Dari perempatan itu lalu saya menuju kea rah timur, yaitu melewati jalan KH Turaichan Adjuri. Di jalan inilah kalau pagi banyak para siswa dan masyarkat yang lewat. Para siswa berpeci pun banyak. Karena sebagian besar yang lewat adalah para siswa yang sekolah di TBS. di sebelah kana nada MI TBS, selang beberapa meter pun kulewati gedung MTs TBS. kemudian saya lurus lalu sampailah pada sebuah gedung di sebelah kiri jalan yang cukup megah. Gedung tersebut terdiri dari tiga lantai yang membujur panjang ke utara. Catnya berwarna hijau, dengan halaman yang cukup luas. Di depan gedung terdapat beberapa pohon peneuh yang cukup rimbun. Pohon ini cukup memberikan kesejukan dan membuat suasana semakin asri. Di depan gedung tersebut ada sebuah papan hijau yang tulisannya berwarna putih. Di papan itu ada tulisan MA NU TBS Kudus dengan tulisan yang tegas.

Di depan gerbang gedung tersebut tengah ada seseorang yang berdiri. Seorang yang tingginya kurang lebih 165 cm. dengan memakai topi dan baju warna putih. Serta celana warna biru. Sambil membawa sempritan ia membantu para siswa untuk menyabrang. Ia adalah pak satpam MA NU TBS Kudus yang bernama Bp. Sadarudin. Atau kadang dipanggil dengan mas Sadaruddin, hal itu karena usianya yang memang masih sangat muda sekitar 21 tahun. Bersambung………..

Jumat, 11 November 2011

Guru Besar, Tak Hanya Nama



DI lingkup kampus, jumlah dosen atau akademisi yang menyandang gelar magister, doktor, profesor atau bahkan guru besar emeritus kiranya cukup banyak. Namun, para dosen atau guru besar kampus yang mampu memaparkan gagasan, ide, dan pengembangan keilmuannya secara tertulis dalam bentuk buku, agaknya masih sangat sedikit.

Di Indonesia, para dosen yang produktif membuat buku memang tidak banyak. Yang rajin menulis gagasan, berupa artikel di media massa saja masih sedikit, apalagi menulis buku. Bahkan ada guyonan yang menyatakan banyak profesor yang sekadar GBHN. Maksudnya guru besar hanya nama. Cuma mendapat gelar, label, atau berupa simbol akademis yang hanya melekat pada nama saja. Sungguh ironis.

Menulis Buku

Pertanyaannya adalah apakah seorang profesor atau guru besar yang tidak pernah menulis buku, bisa dikatakan kredibel dan diakui kepakarannya? Seorang dosen atau profesor yang hanya puas sibuk mengajar saja, tanpa pernah meneliti serta melakukan pengabdian masyarakat, dan menulis buku, kiranya belumlah bisa dikatakan sebagai akademikus kampus yang kredibel.

Dalam lingkup nasional dan internasional, akademisi yang belum memiliki karya tulis (publikasi artikel, jurnal, dan buku) kiranya belum bisa dianggap pakar, walaupun dia sudah bergelar MA atau PhD. Sebaliknya, walaupun baru lulus S1, jika sudah menulis buku, maka bisa dianggap pakar (Mario Gagho, 2005).

Memang banyak pendapat yang menyatakan bahwa, cara termudah bagi seorang aka­demisi untuk membangun kredibilitas aka­demiknya adalah dengan menulis buku.

Ini tidak berarti bahwa kalangan aka­de­mis yang tidak menulis buku dikatakan ku­rang kredibel. Mungkin bisa saja mereka le­bih pintar dari yang menulis buku. Tapi, tan­pa memiliki karya, bagai­mana orang tahu bah­wa sang dosen atau sang profesor me­miliki ka­pabilitas atau kemampuan aka­de­mis yang mumpuni?

Peradaban Intelektual

Menilik ke belakang, dahulu di zaman peradaban Islam pada Abad pertengahan, banyak melahirkan ilmuan Islam yang produktif menulis buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan. Contohnya adalah Ibnu Rusyd. Seorang ilmuan muslim cerdas dan intelek yang me­ngua­sai banyak bidang ilmu, se­perti Alquran, kedokteran, fisika, biologi, filsafat dan astronomi.

Ia lahir pada tahun 1198 di Kordoba, Spanyol. Semasa hidupnya ia menghasilkan sekitar 78 karya tulis berbentuk buku. Selain itu, ada Ibnu Sina yang dinobatkan sebagai bapak kedokteran. Ia adalah seorang ilmuan yang jenius pada masanya dan juga sangat produktif menulis banyak buku (Wahyu Murtiningsih, 2008).

Para ilmuan Islam turut berperan besar dalam memajukan dunia Islam dan menyulut berkobarnya renaisans, yang menandai bangkitnya Eropa dari keterpurukan. Di negara-negara maju, seperti di Benua Eropa, seorang akademisi akan dianggap seorang cendikiawan dan diakui kepakarannya jika dia sudah menelurkan karya tulis berupa buku. Produktivitas menulis buku penduduk di Benua Eropa memang cukup positif dan mampu menyebabkan berbagai ilmu pengetahuan semakin berkembang.

Di kalangan guru besar kita, beberapa penulis buku produktif yang patut ditiru antara lain adalah almarhum Prof Dr Kuntowijoyo. Ia adalah tokoh budaya Indonesia yang haus ilmu. Seorang guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya UGM. Sastrawan yang mahir berkata-kata. Serta seorang sejarawan akademis yang telaten dan produktif berkarya.

Selain itu, ada Rhenald Kasali, seorang guru besar FE UI yang sangat produktif juga menulis buku. Guru besar lain yang juga produktif menulis di antranya adalah Prof Mudrajad Kuncoro PhD. Guru besar Ilmu Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Yang unik adalah Budi Sutedjo Dharma Oetomo SKom MM, dosen Fakultas Teknologi Informasi UKDW Yogyakarta berhasil meraih piagam penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). Budi di­catat oleh Muri atas rekor penulis pada 84 me­dia, dengan materi 145 bidang ilmu yang diterbitkan dengan menggunakan 18 inisial. Kini, Budi telah menghasilkan lebih dari 1.058 karya, terdiri atas 629 opini, 21 feature, 164 ar­tikel populer, 49 artikel ilmiah, dan 195 ad­vertorial yang dimuat di berbagai media, dan to­tal menulis buku mencapai 95 buah. (Sua­ra Merdeka, 7/10/2011).

Itulah sebagian contoh guru besar dan do­­sen yang patut ditiru karena produktivitas in­­­telektualnya dalam berkarya dan membuat bu­­ku. Semua pihak tentu berharap bahwa pa­­­ra profesor kampus di Indonesia dapat men­­jadi guru besar yang tak hanya sekadar na­­ma saja. Tetapi menjadi guru besar yang me­­mang memiliki kredibilitas karena banyak melakukan penelitian, menulis buku, artikel atau publikasi ilmiah lainnya. (24)

(Dimuat di koran Suara Medeka pada hari Sabtu, 29 Oktober 2011)

—Muhammad Noor Ahsin SPd, mantan aktivis pers mahasiswa Unnes, pendidik dan peneliti sosial di Madrasah Aliyah NU TBS Kudus.

Jangan Hanya Pandai Retorika, Mulailah Menulis

DALAM dunia kampus, menulis merupakan sebuah aktivitas intelektual yang sangat bermanfaat dan dapat mengasah kreativitas seseorang. Para mahasiswa yang gemar menuangkan gagasan kreatifnya di media massa, sudah pasti namanya akan moncer karena dikenal oleh publik secara luas.

Mahasiswa yang demikian, tentu tidak hanya dapat mengharumkan nama baik dirinya, tapi juga dapat membanggakan seluruh civitas academica kampus tempatnya menuntut ilmu. Dengan menulis di media massa, seseorang akan dikukuhkan sebagai warga intelektual. Serta, kiranya tidaklah berlebihan apabila mereka dikatakan sebagai ’’selebritas’’ kampus.

Manfaat yang didapat dari aktivitas menulis tentu sangat banyak. Sahabat Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, ikatlah ilmu dengan tulisan. Perkataan yang bernada anjuran menulis ilmu tersebut tentu mempunyai makna yang sangat dalam. Dengan aktivitas menulis, seseorang akan dimuliakan karena ilmu yang ia tulis. Itu sesuai dengan janji Allah kepada makhluknya, yaitu Allah akan mengangkat derajat orang-orang berilmu menjadi beberapa derajad. Makna kata derajad di atas tentu adalah kemuliaan. Pembuktian kemuliaan itu dapat diketahui melalui dua cara, yaitu mulia di dunia (mendapat materi) dan mulia di akhirat (ahli surga).

Dalam lingkup kampus, mahasiswa yang tulisannya dimuat, tidak jarang tiba-tiba menjadi bahan perbincangan karena menulis di media massa. Mungkin itulah salah satu dampak positif yang akan didapat seseorang mahasiswa yang namanya bisa nongol di media massa. Seorang yang menulis tentu akan dikenal secara positif oleh warga kampus dan masyarakat. Di samping itu, ketika tulisan yang ditulis mahasiswa dapat memberikan manfaat kepada khalayak umum, tentu dapat bernilai ibadah, dan kerja kreatif tersebut tentu bisa mendapatkan pahala. Orang yang berpahala, jaminannya adalah surga.

Dengan menulis, para mahasiswa dapat menuangkan bermacam ide ke dalam bentuk tulisan. Menulis merupakan sebuah aktivitas intelektual dan wujud eksistensi seseorang untuk berkiprah dan berbagi ide kepada orang lain. Kebahagiaan seorang penulis adalah ketika tulisannya dimuat di media massa, lebih-lebih ketika dikomentari seseorang, menjadi buah bibir, dan tentunya ketika menerima honor.

Para pemikir zaman dahulu, seperti Aristoteles, Plato, Einstein, Ki Hajar Dewantara, RA Kartini, Soe Hok Gie, dan sebagainya dapat diketahui kadar intelektualitasnya, salah satunya melalui karya atau tulisan yang dihasilkannya. Walaupun mereka sudah meninggal, tapi mereka seolah masih ada dan masih bisa memberi manfaat karena telah meninggalkan tulisan atau karya yang bisa dibaca setiap orang sepanjang massa.

Membaca

Sayangnya, masih sedikit mahasiswa dan warga umum yang rajin menulis di media massa.
Diskursus kegiatan menulis atau budaya literasi di kalangan mahasiswa memang belum semarak. Bisa dikatakan hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu saja yang eksis dan rajin menulis. Itu pun persentasenya masih sangat sedikit.
Kendati demikian, asalkan ada keinginan, niat dan usaha yang tekun untuk menulis, semua mahasiswa tentu bisa menjadi penulis. Semangat menulis sudah semestinya ditumbuhkan dalam diri setiap mahasiswa. Janganlah berhenti menulis hanya gara-gara beralasan tidak punya waktu atau sebagainya.

Tetaplah menjaga konsintensi dalam menulis. Selain itu, hal penting untuk menunjang profesi menulis adalah dengan banyak membaca buku. Bisa dikatakan, buku adalah gudang ilmu dan gudang kosakata yang dapat menjadi amunisi mahasiswa dalam menulis. Sangatlah mustahil menjadi penulis jika kita tidak suka membaca. Karena membaca itu berbanding lurus dengan kemampuan menulis.

Dengan membaca, kita banyak menemukan informasi, ide, dan imajinasi. Karena bacaan dapat menjadi sumber atau referensi yang bisa kita kemas menjadi sebuah tulisan yang bagus. Membaca tidak hanya yang berbentuk buku, tapi juga membaca secara luas, dalam arti membaca fenomena dan permasalahan yang ada dalam masyarakat. Jadi mahasiswa dituntut peka terhadap keadaan lingkungan sosialnya. Di sinilah elemen faktor membaca begitu sangat penting sekali. Kita bisa menyelami berbagai macam kota, negara, benua dan seluruh tempat di dunia dengan membaca.

Setelah banyak membaca lalu menulislah. Gagasan yang hanya diomongkan secara lisan tidaklah akan bertahan lama.
Mahasiswa jangan hanya pintar pidato dan sekadar retorika saja. Putuskan mulai sekarang ini untuk selalu menyempatkan waktu membaca dan menulis.
Seperti pepatah latin, scripta manent verba volant (yang tertulis akan mengabdi, yang terucap akan berlalu bersama angin). (24)

(Dimuat di Koran Suara Merdeka pada hari Sabtu, 25 Juni 2011)

—Muhammad Noor Ahsin SPd, mantan aktivis pers mahasiswa di Tabloid Nuansa BP2M Unnes, pendidik dan peneliti sosial di Madrasah Aliyah NU TBS, Kudus.

Rekonstruksi Gerakan Pers Mahasiswa

DEWASA ini, geliat perkembangan pers mahasiswa (persma), di tiap kampus mengalami dinamika yang menggairahkan. Hampir semua kampus telah memiliki lembaga pers yang dikelola oleh para mahasiswa sebagai media informasi, wahana pengembangan kreativitas, dan ajang pertukaran ide.

Dengan pers mahasiswa, beberapa informasi kegiatan, kebijakan kampus, opini mahasiswa, dan informasi lainnya dapat disajikan, baik dalam bentuk buletin, tabloid, ataupun majalah kampus. Menu informasi yang dibuat dan diolah oleh para awak media kampus tentunya dapat berkorelasi positif terhadap perkembangan dinamika bagi kebebasan berkreasi dan bersuara para mahasiswa untuk menunjang demokratisasi kampus.

Mendidik Pembaca

Fungsi persma atau bisa disebut pers kampus di antaranya adalah sebagai media informasi kampus dan alat pengontrol kebijakan publik. Selain itu, persma juga berfungsi menjadi corong bagi perjuangan gerakan mahasiswa melalui jalur tulisan, karena eksistensi persma diakui mampu memengaruhi opini publik.
Untuk itu, pers mahasiswa sudah semestinya dapat meningkatkan peran untuk ikut mendidik warga kampus, lewat berbagai tulisan yang kritis dari berbagai disiplin ilmu. Pers berbasis idealisme, seperti pers mahasiswa, misalnya, tidak saja menampilkan tulisan-tulisan ilmiah kaku yang tidak aplikatif, namun diharapkan juga dapat menyajikan pemikiran kritis segar, agar dapat menggugah kesadaran moral dan dapat mencerdaskan pembaca tidak hanya warga kampus, tapi juga masyarakat luas.

Rekonstruksi gerakan pers mahasiswa tersebut sudah semestinya menjadi perhatian bersama, agar ke depan persma lebih banyak berperan untuk turut mendidik masyarakat pembaca secala lebih luas.
Menilik ke belakang, dengan pers, para tokoh kemerdekaan Indonesia dahulu juga melakukan gerakan dan perjuangan melalui tulisan untuk memengaruhi publik dan mendidik masyarakat dalam upaya memperjuangkan cita-cita kemerdekaan. Walaupun tingkat pendidikan mayoritas rakyat saat perjuangan kemerdekaan Indonesia masih rendah, para tokoh pergerakan bangsa sangat sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme, selain mimbar-mimbar persatuan. Dengan pers pula, pesan dan gagasan memiliki tingkat aksebilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional.

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari gerakan pers para tokoh kemerdekaan bangsa. Dengan pers, para tokoh bangsa dahulu sangat getol menyuarakan gagasan, aspirasi, dan ide-ide tentang nasionalime serta perjuangan melawan penjajah.

Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita didirikan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Posisi para tokoh kunci pergerakan kebangsaan Indonesia, dalam struktur pers umumnya adalah pemimpin redaksi atau paling rendah adalah redaktur. Sebagai contoh, HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu ’’guru pergerakan’’ adalah Pemimpin Redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa.

Tiga serangkai, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr Tjipto Mangunkusumo menukangi De Express. Selain itu, ada nama Semaoen, diusianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia.
Sebelum berkosentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hajar Dewantara adalah Pemimpin Redaksi Persatoean Hindia dan bahu membahu bersuara dalam majalah Pemimpin. Adapaun Soekarno menjadi Pemimpin Redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat.

Setelah pulang dari Belanda dan menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohmmad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi Pemimpin Redaksi Banteng, serta masih banyak lagi (Taufik Rahzen, 2007).

Peran Penting Persma

Hal di atas merupakan sedikit kisah tentang gerakan pers para tokoh bangsa pada masa prakemerdekaan. Gerakan pers yang dilakukan para tokoh kemerdekaan zaman dulu dengan gerakan pers mahasiswa tentunya memiliki banyak perbedaan. Akan tetapi, keduanya tentu memiliki kesamaan, di antaranya untuk menginformasikan berita, alat kontrol publik, dan mendidik pembaca.

Fungsi mendidik pembaca sudah semestinya dijadikan spirit utama bagi gerakan Persma untuk lebih berperan dan berkontribusi secama luas. Dalam menyajikan tulisan, sisi kreativitas, dan daya inovasi awak persma sangat dibutuhkan dalam menentukan tema suguhan peristiwa agar menarik dan layak diinformasikan.

(dimuat di Koran Suara Merdeka hari Sabtu, 11 Juni 2011)


—Muhammad Noor Ahsin SPd, mantan aktivis pers mahasiswa di Tabloid Nuansa BP2M Unnes, pendidik dan peneliti sosial di Madrasah Aliyah NU TBS, Kudus.
From: Suara Merdeka