Selasa, 25 Januari 2011
Mendidik Moral Lewat Sastra
Hampir setiap hari, kita disuguhi berita mengenai korupsi, pembunuhan, pelecehan seksual, penganiyayaan, kasus hamil di luar nikah, kasus pencurian dan banyak lagi berita kriminal lainya di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Hal itu jelas menjadi masalah bangsa yang seolah tiada henti.
Parahnya, di wilayah Jawa Tengah, kecenderungan tindak kriminal tersebut menunjukkan tren peningkatan yang signifikan. Fenomena tersebut semakin menunjukkan bahwa bangsa ini mengalami degradasi moral yang cukup memprihatinkan. Untuk membentengi anak dari pengaruh negatif tayangan media tersebut, pihak keluarga dan sekolah berperan besar dalam memberikan arahan dan nilai-nilai moral kepada anak didik.
Sebagai alternatif, di lingkungan sekolah guru hendaknya senantiasa mendidik siswa dan memberikan teladan yang baik kepada muridnya. Selain diberikan contoh secara nyata, dalam pemberian pelajaran siswa pun perlu diberikan pemahaman dan pembelajaran tentang nilai moral dan sisi kemanusiaan. Di bidang sastra misalnya, guru bahasa Indonesia mempunyai potensi besar menanamkan nilai-nilai moral kepada siswa melalui karya sastra.
Karya sastra, baik berupa puisi, cerpen, novel, maupun naskah drama, pada dasarnya merupakan cerminan perasaan, pengalaman, dan pemikiran pengarangnya dalam hubungannya dengan kehidupan. Menulis fiksi bagi sastrawan adalah menafsirkan kehidupan (Kayam, 1998). Karya sastra berangkat dari kehidupan manusia. Di dalam menuliskan karya sastra, sang sastrawan mengolah materi yang diangkat dari kehidupan ditambah dengan imajinasinya, membentuk konsep yang dituangkan di dalam bentuk tertentu.
Di dalam memandang peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di sekitar, sastrawan memakai pertimbangan nurani dan intelektualnya, dan biasanya, pengarang akan menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan standar kepatutan. Bilamana terjadi peristiwa-peristiwa yang melenceng dari standar kepatutan, baik dari sisi agama, moral, hukum, adat, politik, dan budaya, nurani pengarang akan tergerak untuk mengingatkan sesama manusia akan hal itu. Salah satu bentuk upaya mengingatkan sesama manusia itu adalah melalui kritik dalam karya sastra (Sunaryono Basuki KS, 2006).
Jika berbicara tentang sastra, mungkin tidak terlalu salah kesan beberapa orang yang mengatakan mengenai sastra yang dianggap sebuah hiburan dan tidak serius. Fungsi menghibur memang tidak dapat dilepaskan dari sastra, walaupun itu bukan fungsi utama sastra.
Nilai sastra yang lain adalah sebagai fungsi edukatif, Atau bisa dikatakan berfungsi untuk mendidik pembaca. Dalam arti luas berfungsi untuk memperdalam, serta mempertajam kesadaran pembacanya mengenai kehidupan. Dengan melalui imajinasi, sastra membawa pembaca lebih dalam ke dunia nyata, membuat orang mampu memahami masalah-masalahnya.
Sastra Terpinggirkan
Oleh karena itu, karya sastra membuat penulis dan pembaca dekat dengan kehidupan. Melalui karya sastra sering diketahui keadaan, cuplikan-cuplikan kehidupan masyarakat seperti dialami, dicermati, ditangkap, dan direka oleh pengarang. Bahkan, seringkali sebuah suasana tertentu dapat lebih dihayati, dirasakan dengan hati apabila membaca dan mengapresiasi sebuah cerpen, novel atau sebiji sajak daripada membaca suatu laporan penelitian yang ilmiah. Hal itu dikarenakan, dalam mengapresiasi karya sastra perasaan kita dilatih untuk peka dan berempati terhadap sesama.
Sayangnya, kecenderungan pendidikan di sekolah pada umumnya hanya mengedepankan ilmu eksakta daripada ilmu yang lain. Seolah pendidikan sastra yang merupakan ilmu humaniora hanya membuang waktu dan tidak ada gunanya. Padahal, sastra berperan sangat besar untuk memberikan pendidikan karakter khususnya dalam menanamkan nilai-nilai dan investasi moral masa depan, mengingat sastra itu berbicara tentang manusia dan kemanusiaan.
Walaupun demikian, alternatif pembelajaran moral kepada siswa didik lewat sastra hendaknya tetap diupayakan khususnya oleh guru bahasa Indonesia agar siswa memiliki pemahaman nilai-nilai moral yang baik. Hal tersebut sangatlah penting untuk memberikan bekal pembelajaran nilai moral kepada siswa sejak dini.
Tidak menutup kemungkinan, guru mata pelajaran lain pun dapat pula turut membelajarkan nilai moral kepada siswa. Hal itu tentu saja tergantung kepedulian, kemauan, dan tingkat kreativitas guru masing-masing. Sehingga tugas menanamkan nilai moral dan akhlak tidak hanya menjadi tanggung jawab guru agama saja, melainkan tanggung jawab semua guru di Sekolah.
Muhammad Noor Ahsin, S.Pd.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
MA NU TBS Kudus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar