Kamis, 12 Maret 2009

Perkelahian Pemikiran Versus Problematika



Dewasa ini, pergulatan manusia mencari solusi atas sebuah problematika sosial dalam meretas jalan peradaban, menuai berbagai tantangan dan berimplikasi besar terhadap paradigma pemikiran masyarakat. Manusia bisa dikatakan beradab jika mereka mempunyai sesuatu yang dapat mencerahkan bagi orang di sekelilingnya, entah dalam bentuk karya nyata ataupun berupa gagasan abstrak. Peradaban sangat berkaitan dengan gagasan intelektual berupa pemikiran-pemikiran yang menggugah orang dan mampu memberikan wacana publik serta dapat menelurkan ide kreatif berupa solusi atas berbagai permasalahan yang sedang mewabah di masyarakat.

Tidak hanya sekadar wacana berupa tradisi lisan saja. Namun, ciri sebuah komunitas intelektual ditandai dengan adanya karya dalam bentuk teks tulisan. Peningggalan berupa pemikiran dijabarkan secara gamblang melalui media tulisan. Ide-ide yang kita punya tidak hanya kita keluarkan dalam bentuk suara lisan yang mudah terlupakan apabila tidak direkam. Akan tetapi, ide tersebut kita ikat dengan tulisan. Dengan kata lain, berbagai ide kritis kita akan sesuatu harus kita abadikan dalam bentuk teks yang dapat kita wacanakan kepada segenap strata sosial masyarakat di segala bidang.

Budaya seperti itu hendaknya kita tumbuhkan dalam diri kita. Lebih-lebih bagi seorang yang ingin dikatakan sebagai bagian dari rezim peradaban. Entah itu pelajar, mahasiswa, dosen, profesor, para teknokrat, budayawan, dan sebagainya. Jaringan intelektual muda berbasis problematika perlu ditekankan. Kita tentu tahu, bahwa negara Indonesia yang multikultural ini tentunya mempunyai beragam permasalahan. Boleh jadi, rentetan permasalahn itu tentu saja tidak semua dapat terselesaikan dengan solusi yang tepat. Kepekaan dan daya kritis kita perlu dilatih. Sikap skeptis kita hendaknya selalu menjadi radar intelektualisme kita dalam menyerap dan memahami segala fenomena alam menyangkut hajat hidup orang banyak.

Realita di lapangan menunjukkan bahwa, sangat sedikit orang yang mempunyai kepedulian terhadap problematika sosial masyarakat. Bila ditilik lebih jauh, sikap individualis seseorang lebih besar daripada sikap sosialis. Jika asumsi publik mengenai hal itu benar, tentu saja fenomena itu menjadi duka kita bersama. Mengapa demikian? Hal itu tak lain akan menyebabkan berbagai masalah baru yang beredar di masyarakat.

Padahal, segala permasalahan yang ada tentunya tidak bisa diselesaikan dengan ide pemikiran dari satu “batok kepala”. Perlu adanya ruang diskusi yang terdiri dari berbagai macam pemikiran untuk menyelesaikan berjubel permasalahan yang ada. Kajian-kajian mengenai suatu persoalan yang dikemas dengan metode diskusi menjadi salah satu alternatif dalam membincangkan problematika publik. Dari hal itu, tentunya akan melahirkan sikap kritis kita terhadap suatu permasalahan. Pertukaran pemikiran yang penulis sebut sebagai “perkelahian pemikiran” antara orang satu dengan orang yang lain akan menumbuhkan budaya intelektual masyarakat menjadi hidup.

Dalam tataran budaya intelektual mahasiswa, sikap kritis terhadap sesuatu hal cenderung mengalami tren penurunan. Padahal mahasiswa merupakan bibit intelektual muda yang kelak menjadi tonggak dalam menggatikan kader militan bangsa yang peduli terhadap keadaan permasalahan negara. Jika mahasiswanya melempem secara intelektual tentu saja akan berimplikasi bagi kemandegan warisan budaya intelektual masyarakat kampus.

Mahasiswa yang katanya agen of change, tentunya dituntut untuk lebih peka terhadap keadaan di sekelilingnya. Dalam perjalanan waktu, perubahan dan perkembangan teknologi yang pesat disatu sisi memberikan banyak manfaat bagi manusia. Tapi dilihat dari sisi yang lain, hal itu bisa menjadi bumerang bagi kita apabila teknologi itu tidak tepat guna atau pun digunakan untuk sesuatu yang membahayakan banyak orang. Di tambah lagi ketika budaya barat membanjiri dermaga budaya bangsa. Jika tidak diantisipasi, bisa-bisa budaya barat akan menghegemoni budaya lokal bangsa yang jika dibiarkan maka benteng peradaban bangsa yang merupakan buah cipta, rasa dan karsa nenek moyang kita akan tersingkir.

Untuk itu, apakah kita termasuk menjadi bagian mahasiswa yang mandul secara intelektual? Jika tidak ingin dikatakan demikian, marilah kita tumbuhkan jiwa skeptis kita dengan mengasah logika berpikir kita dalam mengurai segala permasalahan sosial masyrakat. Jadi mahasiswa jangan hanya pintar omong doang. Tapi tunjukkan eksistensimu dengan mewarnai dinamika pergulatan pemikiran kampus. Budaya diskusi yang merupakan ciri kaum intelektual kampus harus diimbangi dengan budaya tulis menulis.

Dengan kemampuan tersebut, segala macam ide dapat kita goreskan dengan tinta diatas kertas. Gagasan –gagasan yang mengendap dalam otak harus dituangkan dalam bentuk mantra-mantra tekstual yang bernilai tinggi. Harapannya, jika mahasiswa atau pun masyarakat memiliki sikap kepedulian terhadap keadaan sekeliling, maka segala persoalan sedikit-demi sedikit dapat terkikis. Tidak hanya itu, gelombang wacana yang digembar-gemborkan melalui media tulisan dapat memperngarui pola pikir masyarakat ke arah yang lebih baik. Hal demikian apabila menjadi suatu kebiasaan maka akan memunculkan iklim pemikiran intelektual masyarakat kampus menjadi lebih bergairah, sehingga mampu menjadi pisau analisis dalam membedah permasalahan masyarakat, baik dalam lingkup lokal maupun nasional.


Muhammad Noor Ahsin
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Gelegar Institut
Semarang.

Perkelahian Pemikiran Versus Problematika

Dewasa ini, pergulatan manusia mencari solusi atas sebuah problematika sosial dalam meretas jalan peradaban, menuai berbagai tantangan dan berimplikasi besar terhadap paradigma pemikiran masyarakat. Manusia bisa dikatakan beradab jika mereka mempunyai sesuatu yang dapat mencerahkan bagi orang di sekelilingnya, entah dalam bentuk karya nyata ataupun berupa gagasan abstrak. Peradaban sangat berkaitan dengan gagasan intelektual berupa pemikiran-pemikiran yang menggugah orang dan mampu memberikan wacana publik serta dapat menelurkan ide kreatif berupa solusi atas berbagai permasalahan yang sedang mewabah di masyarakat.

Tidak hanya sekadar wacana berupa tradisi lisan saja. Namun, ciri sebuah komunitas intelektual ditandai dengan adanya karya dalam bentuk teks tulisan. Peningggalan berupa pemikiran dijabarkan secara gamblang melalui media tulisan. Ide-ide yang kita punya tidak hanya kita keluarkan dalam bentuk suara lisan yang mudah terlupakan apabila tidak direkam. Akan tetapi, ide tersebut kita ikat dengan tulisan. Dengan kata lain, berbagai ide kritis kita akan sesuatu harus kita abadikan dalam bentuk teks yang dapat kita wacanakan kepada segenap strata sosial masyarakat di segala bidang.

Budaya seperti itu hendaknya kita tumbuhkan dalam diri kita. Lebih-lebih bagi seorang yang ingin dikatakan sebagai bagian dari rezim peradaban. Entah itu pelajar, mahasiswa, dosen, profesor, para teknokrat, budayawan, dan sebagainya. Jaringan intelektual muda berbasis problematika perlu ditekankan. Kita tentu tahu, bahwa negara Indonesia yang multikultural ini tentunya mempunyai beragam permasalahan. Boleh jadi, rentetan permasalahn itu tentu saja tidak semua dapat terselesaikan dengan solusi yang tepat. Kepekaan dan daya kritis kita perlu dilatih. Sikap skeptis kita hendaknya selalu menjadi radar intelektualisme kita dalam menyerap dan memahami segala fenomena alam menyangkut hajat hidup orang banyak.

Realita di lapangan menunjukkan bahwa, sangat sedikit orang yang mempunyai kepedulian terhadap problematika sosial masyarakat. Bila ditilik lebih jauh, sikap individualis seseorang lebih besar daripada sikap sosialis. Jika asumsi publik mengenai hal itu benar, tentu saja fenomena itu menjadi duka kita bersama. Mengapa demikian? Hal itu tak lain akan menyebabkan berbagai masalah baru yang beredar di masyarakat.

Padahal, segala permasalahan yang ada tentunya tidak bisa diselesaikan dengan ide pemikiran dari satu “batok kepala”. Perlu adanya ruang diskusi yang terdiri dari berbagai macam pemikiran untuk menyelesaikan berjubel permasalahan yang ada. Kajian-kajian mengenai suatu persoalan yang dikemas dengan metode diskusi menjadi salah satu alternatif dalam membincangkan problematika publik. Dari hal itu, tentunya akan melahirkan sikap kritis kita terhadap suatu permasalahan. Pertukaran pemikiran yang penulis sebut sebagai “perkelahian pemikiran” antara orang satu dengan orang yang lain akan menumbuhkan budaya intelektual masyarakat menjadi hidup.

Dalam tataran budaya intelektual mahasiswa, sikap kritis terhadap sesuatu hal cenderung mengalami tren penurunan. Padahal mahasiswa merupakan bibit intelektual muda yang kelak menjadi tonggak dalam menggatikan kader militan bangsa yang peduli terhadap keadaan permasalahan negara. Jika mahasiswanya melempem secara intelektual tentu saja akan berimplikasi bagi kemandegan warisan budaya intelektual masyarakat kampus.

Mahasiswa yang katanya agen of change, tentunya dituntut untuk lebih peka terhadap keadaan di sekelilingnya. Dalam perjalanan waktu, perubahan dan perkembangan teknologi yang pesat disatu sisi memberikan banyak manfaat bagi manusia. Tapi dilihat dari sisi yang lain, hal itu bisa menjadi bumerang bagi kita apabila teknologi itu tidak tepat guna atau pun digunakan untuk sesuatu yang membahayakan banyak orang. Di tambah lagi ketika budaya barat membanjiri dermaga budaya bangsa. Jika tidak diantisipasi, bisa-bisa budaya barat akan menghegemoni budaya lokal bangsa yang jika dibiarkan maka benteng peradaban bangsa yang merupakan buah cipta, rasa dan karsa nenek moyang kita akan tersingkir.

Untuk itu, apakah kita termasuk menjadi bagian mahasiswa yang mandul secara intelektual? Jika tidak ingin dikatakan demikian, marilah kita tumbuhkan jiwa skeptis kita dengan mengasah logika berpikir kita dalam mengurai segala permasalahan sosial masyrakat. Jadi mahasiswa jangan hanya pintar omong doang. Tapi tunjukkan eksistensimu dengan mewarnai dinamika pergulatan pemikiran kampus. Budaya diskusi yang merupakan ciri kaum intelektual kampus harus diimbangi dengan budaya tulis menulis.

Dengan kemampuan tersebut, segala macam ide dapat kita goreskan dengan tinta diatas kertas. Gagasan –gagasan yang mengendap dalam otak harus dituangkan dalam bentuk mantra-mantra tekstual yang bernilai tinggi. Harapannya, jika mahasiswa atau pun masyarakat memiliki sikap kepedulian terhadap keadaan sekeliling, maka segala persoalan sedikit-demi sedikit dapat terkikis. Tidak hanya itu, gelombang wacana yang digembar-gemborkan melalui media tulisan dapat memperngarui pola pikir masyarakat ke arah yang lebih baik. Hal demikian apabila menjadi suatu kebiasaan maka akan memunculkan iklim pemikiran intelektual masyarakat kampus menjadi lebih bergairah, sehingga mampu menjadi pisau analisis dalam membedah permasalahan masyarakat, baik dalam lingkup lokal maupun nasional.


Muhammad Noor Ahsin
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Gelegar Institut
Semarang.