Kamis, 12 Februari 2009

Baiat Pengurus dan Santri Ponpes Durrotu Aswaja

Abah Kyai Masyrokhan melantik pengurus putra dan putri Pondok Pesantren Durrotu Ahlissunnah Waljama’ah (Aswaja) pada Kamis, (8/1) bertempat di aula Putra Pondok, Sekaran Gunungpati Semarang. Dalam kesempatan itu, semua santri putra dan putri yang baru juga di baiat dan disumpah oleh Pengasuh.

Pelantikan itu merupakan sebagai tindak lanjut atas terpilihnya lurah putri yang baru, Mbak Nur Zubaidah. Setelah terpilih, sang lurah putri baru yang menggantikan lurah putri lama Mb Musta’anah, langsung membentuk kabinet kepengurusan Pondok putri periode 2009-2011. Beliau mengumumkan formasi pengurus baru. Sebelumnya, dalam kabinet pengurus putra ada rapat besar untuk resuffle. Langkah ini ditempuh karena ada beberapa pengurus yang tidak aktif. Ada yang karena semester tua adapula yang punya kesibukan di luar kampus. Beberapa pengurus yang tidak aktif menyebabkan roda kepengurusan menjadi agak terhambat. Sehingga perlu ada pengganti bagi pengurus yang tidak aktif.

Pada moment tersebut, sebelum melantik, abah kyai memberikan mauidhoh khasanah. Dengan maksud untuk memberikan arahan agar pengurus mampu melaksanakan tugas dan amanah yang diemban dengan baik. Abah berpesan, supaya Pengurus bisa kompak dan ada koordinasi antara pengurus putra dan pengurus putri. Untuk mencapai itu, Abah menyarankan dan berpesan supaya pengurus selalu mengadakan rapat tiap tengah bulan. Dengan kata lain, koordinasi hendaknya dilakukan minimal dua kali setiap bulannya.

Dalam pelantikan tersebut, penyerahan Kartu Tanda Santri (KTS) secara simbolis diberikan oleh abah kepada kang Muzakki, santri Rembang. Berikut petikannya “Demi Allah, aku rela Allah Sebagai Tuhanku dan islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai Nabi dan utusan bagiku, ka’bah sebagai kiblatku, Al-qur’an sebagai pedomanku, orang-orang iman sebagai saudaraku, Pengasuh sebagai pembimbingku, Pengurus Ponpes Durrotu Aswaja sebagai penetapan Janjiku, Alumni Sebagai Penuntunku, Tata tertib sebagai panutan yang baik, yang mulia, dan amanahhya sebagai penyuksesku yang indah dengan hak yang kekal abadi.”

Penyerahan itu disertai doa supaya ke depan santri bisa menjadi orang yang benar-benar taat pada segala peraturan yang sudah ditetapkan. Sehingga, harapannya kelak akan tercetak santri unggulan yang berilmu dan berkarakter yang mampu menjadi pioner dalam kehidupan bermasyarakat.


Muhammad Noor Ahsin

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes,
Koordinator Komunitas Gelegar Institut,
Semarang

Peran Santri dan Kemandirian Pesantren

Baru-baru ini, dalam sebuah sarasehan tentang kemandirian pesantren di Ponpes Salafiyah, Kayen, Margoyoso, Pati, terlontar kesimpulan bahwa, pesantren sebagai salah satu penyelenggara pendidikan nonformal, belakangan mulai kehilangan kemandiriannya. Hal itu tak lepas dari kurangnya bekal keterampilan dan modal kerja yang diberikan kepada para santri (Suara Merdeka, 8/1).

Hal tersebut diutarakan oleh Menteri Negara Koperasi dan UKM, Suryadarma Ali saat menjadi pembicara kunci di forum tersebut. Secara global, kemandirian pesantren yang saat ini masih terjaga antara lain, kurikulum dan silabi pembelajaran yang diupayakan oleh pengasuh. Namun, yang menjadi sorotan yaitu kurang dikembangkannya kemandirian pesantren dalam bidang ekonomi. Berbagai indikasi itu terlihat dengan kecenderungan semakin banyaknya pihak pesantren yang belakangan kerap mengajukan dan berharap bantuan dari pemerintah dan masyarakat.

Padahal sebelumnya pesantren sangat disegani lantaran mengupayakan sendiri pendanaan untuk pembangunan semisal masjid, asrama, dan madrasah. Dahulu, sejak masa penyiaran islam, umumnya, berbagai pondok pesantren yang ada di Indonesia sebagian besar didirikan oleh para ulama dengan kerja keras secara mandiri. Meskipun, antarpondok pesantren berbeda-beda visi menyangkut metode pembelajarannya, namun pada dasarnya setiap pesantren memiliki kesamaan fungsi pendidikan pesantren, yaitu sebagai pusat pendidikan dan pendalaman ilmu-Ilmu pengetahuan islam (tafaqquh fiddin) serta sebagai pusat dakwah islam.

Di lingkup pesantren, para santri di samping melaksanakan tugas ataupun kewajibannya mempelajari serta mendalami ilmu-ilmu agama islam, dalam rangka menyiapkan diri untuk menjadi kader ulama, ustadz, dan mubaligh, dahulu juga terkenal dengan sikap kemandirian dan keikhlasannya. Jiwa dan sikap demikian selalu ditumbuhkan dalam kehidupan santri sehari-hari di lingkungan pesantren. Jiwa kemandirian santri mula-mula ditumbuhkan dalam mengurus kebutuhan hidup sehari-hari seperti, mencuci, memasak, mengepel, membersihkan tempat tidur dan sebagainya. Ketika sudah semakin dewasa, Lambat laun tanggung jawab yang diberikan pengasuh kepada santri biasanya semakin besar. Semisal mengajar santri junior, atau diserahi mengembangkan program-program pesantren seperti mengurus majlis ta’lim, koperasi pesantren, program pertanian, dan sebagainya.

Jadi, indikasi bahwa telah terjadinya pergeseran kemandirian pesantren yang disampaikan di atas memang sangat ironis dan patut disayangkan. Hal itu menunjukkan bahwa “eksistensi kemadirian” para santri yang menuntut ilmu di pesantren semakin terkikis. Benarkah demikian? Kenyataan di lapangan menegaskan bahwa lulusan pesantren yang walaupun terkenal dengan kemandiriannya sebagin besar merasa canggung dalam persaingan memperoleh pekerjaan. Hal itu sangat wajar, karena di pesantren mereka lebih difokuskan untuk mempelajari ilmu agama ketimbang ilmu lain. Sehingga para santri pun hanya “fasih” berkutat dengan urusan yang berbau agama, dan jika dihadapkan dengan hal lain atau keterampilan lain yang bukan bidangnya tentu saja mereka agak sedikit minder.

Padahal, kenyataannya, di era globalisasi ini, untuk meraih segala sesuatu orang harus berkompetisi dalam persaingan yang diperbolehkan sesuai dengan etika pasar bebas (free Market). Berbagai keterampilan individu menyangkut kecakapan dalam berusaha merupakan satu faktor penting yang sangat mempegaruhi kesuksesan menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik.

Menyikapi perkembangan dinamika tersebut, dalam ranah pendidikan pesantren, kiranya perlu juga santri dibekali dengan berbagai keterampilan untuk mengembangkan bakat yang di punyai. Jiwa wirausaha sepertinya juga penting ditanamkan sejak dini dalam jiwa santri. Sehingga nantinya, selain pintar dalam berdakwah, harapannya santri juga pandai dalam mencari peluang dalam berwirausaha.

Meneladani Kemandirian Nabi

Dahulu, hal demikian juga pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika beliau kecil, pada usia 12 tahun, pemuda Muhammad ikut serta melakukan perjalanan dagang ke Syiria yang jauhnya kurang lebih seribu kilometer. Tentu saja pada waktu itu belum ada kendaraan seperti motor, mobil dan sebagainya. Hanya ada unta dan kuda sebagai kendaraan untuk berangkat ke tempat tujuan berdagang. Bayangkan, betapa jauhnya, dan berapa hari lama perjalanannya. Pada usia belasan tahun, pemuda Muhammad makin sering melakukan perjalanan dagang ke beberapa Negara tetangga, hingga ia di kenal sebagai profesional muda yang berhasil.

Sampai dengan usia 25 tahun, ketika Muhammad Menikah dengan seorang konglomerat Khadijah, menurut beberapa catatan, beliau telah melakukan perjalanan bisnisnya ke berbagai kota sebanyak 15 kali, yaitu 5 kali ke syiria, 2 kali ke Bahrain, 2 kali ke Kapus dan 4 kali ke yaman. Karena kejujuran dan professional dalam berdagang, sudah tentu dagangannya laris terjual, dan sudah tentu keuntungan besar pun selalu didapatkan, sehingga beliau menjadi pedagang dan wirausahawan yang sukses.

Mencetak Santri Karya
Menilik dari rekam jejak nabi yang suka berdakwah dan berwirausaha, tidak salah kalau masyarakat muslim menjadikan itu sebagai contoh. Hal itu patut menjadi renungan bersama. Dalam konteks pembelajaran di pesantren, santri selain menimba ilmu agama juga hendaknya meniru sikap nabi dengan mempelajari juga ilmu kemandirian dengan wirausaha. Cara pandang demikian kiranya perlu diapresiasi oleh pihak pesantren terkait untuk bisa dikembangkan dan dibelajarkan kepada para santri di lingkungannya.

Pada umumnya pondok pesantren memiliki Koperasi Pondok Pesantren (Kopotren) yang biasanya dikelola para santri. Untuk meningkatkan kecakapan keterampilan (Soft Skill) para santri, usaha Kopotren itu perlu dikembangkan dengan lebih profesional. Selain itu, santri juga perlu diarahkan untuk mempelajari keterampilan lain yang bisa disesuaikan dengan keadaan dan potensi lingkungan pesantren, seperti keterampilan dalam bidang katering, pertanian, perdagangan, peternakan, perkebunan, dan sebagainya.

Untuk menjadi wirausahawan sukses, Muhammad Nasri dalam buku Kemandirian Santri (2004), menekankan seseorang itu harus memiliki etos kerja yang tinggi. Tanpa etos kerja tinggi, seorang akan lemah dalam mengahadapai suatu hambatan. Karena besar kecilnya hasil yang diperoleh seorang pekerja, pegawai, atau para wirausaha erat kaitannya dengan etos kerja serta keterampilan yang dimiliki dalam melaksanakan usahanya.

Dalam praktiknya, tantangan dalam menjalankan roda bisnis dan wirausaha di lingkup pesantren memang sulit. Kendala yang merintangi pun banyak, terutama tentang modal usaha. Namun, itu tidak menjadi masalah manakala ada keseriusan dalam berusaha. Agar dapat terlaksana dengan baik, Diperlukan banyak kerja keras dan perencanaan matang dalam membelajarkan pendidikan keterampilan bagi para santri di pesantren.

Dalam menatap masa depan, tantangan dalam era globalisasi akan semakin besar. Memberikan pendidikan kemandirian pesantren untuk para santri sangatlah relevan dan penting untuk bekal tambahan menghadapi dinamika hidup yang kian sulit. Sehingga santri lulusan pondok pesantren yang biasanya hanya pandai dalam masalah agama dengan berbagai pemikiran-pemikirannya juga diharapkan dapat memiliki keterampilan lain agar bisa berperan lebih banyak dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat.


Muhammad Noor Ahsin

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes,
Santri Ponpes Durrotu Aswaja, Gunungpati,
Semarang.

Mengelola Wisata Air Tiga Rasa

Kabupaten Kudus mempunyai banyak sebutan, mulai dari kota kretek, kota santri, kota industri, dan kota wisata religi, karena di kota jenang itu ada dua makam wali besar yang sangat dihormati dan sering dikunjungi untuk wisata para peziarah dari berbagai pelosok nusantara. Dua tempat itu adalah makam Sunan Kudus, Syeh Ja’far Shodiq di jantung kota, dan makam Sunan Muria, Raden Umar Said di lereng Gunung Muria.

Selain itu, ada pula yang mengganggap sebagai kota wisata alam. Karena kabupaten Kudus mempunyai banyak tempat wisata alamnya, seperti obkjek wisata puncak songo likur di lereng pegunungan Rahtawu. Ada juga objek Kawasan Wisata Alam/ Eko Wisata wisata di Pegunungan Argo Jembangan, lalu air terjun monthel, wisata alam colo, bumi perkemahan dan wana wisata Kajar, serta objek sendang “Air Tiga Rasa” di sekitar puncak Gunung Muria.

Dalam tulisan ini penulis hanya ingin memfokuskan pada objek wisata sendang air tiga rasa yang saya nilai mempunyai sejarah unik dan menarik serta sangat potensial untuk dikembangkan. Masyarakat Kudus dan sekitar pasti sudah tidak asing lagi jika mendengar kata tersebut. Objek wisata sendang air tiga rasa terletak di dekat sebuah makam tua di puncak Gunung Muria. Makam itu adalah makam dari seorang waliyullah yang bernama “Syeh Hasan Sadzali”, atau lebih dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan “Syeh Sadzali Rejenu”.

Sejarah Air Tiga Rasa

Pada sekitar akhir tahun kemarin, saya dan teman-teman bertamasya mengunjungi objek wisata tersebut. Menurut penuturan dari warga sana, cerita air tiga rasa dahulu bermula dari kedatangan Syeh Hasan Sadzali ke Gunung Muria. Beliau adalah seorang musafir dari Bagdad Irak yang ingin memuntut ilmu di daerah Muria. Ketika Syeh Hasan Sadzali menghadap kanjeng Sunan Muria, Raden Umar Said untuk berguru, beliau dianjurkan untuk pergi ke sebelah utara, tepatnya di daerah Rejenu.
Belakangan diketahui Syeh Sadzali mempunyai banyak ilmu dan karomah. Sehingga, dari waktu ke waktu ada beberapa orang yang ingin berguru kepada beliau, lama-lama santrinya pun makin banyak. Melihat perkembangan itu, maka Syeh Sadzali bersama para santri dengan para penduduk sekitar membangun sebuah mushola yang dibawahnya terdapat sebuah mata air yang digunakan para santri beliau untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Namun, pada suatu ketika muncul berita bahwa air dari mata air tersebut mempunyai khasiat dapat menghidupkan orang yang sudah meninggal. Lama kelamaan masyarakat Gunung Muria dan sekitarnya datang berbondong-bomdong untuk melakukan persembahan atau ritual-ritual karena ingin mendapatkan berkah dari mata air tersebut.

Ketika Syeh Sadzali melihat hal itu, beliau langsung menutup mata air tersebut, karena hal itu dianggap musrik. Beberapa waktu kemudian di sebelah barat mushola yang berjarak kurang lebih 100 meter, muncul tiga buah mata air yang kemungkinan besar dibuat oleh beliau. Para santri pun menggunakan ketiga mata air tersebut sebagai tempat mandi, mencuci dan lain-lain sebagai pengganti mata air yang di tutup oleh Syeh Sadzali. Setelah beliau dipanggil untuk menghadap sang khaliq, beliau dimakamkan di sekitar tiga mata air tersebut.

Mengenai istilah air tiga rasa, menurut penjaga makam, istilah tersebut berasal dari lidah para musafir yang datang. Ketika pengunjung meminum ketiga sumber mata air tersebut, mereka merasakan rasa air yang berbeda-beda dari ketiga bilik itu. Maka sejak saat itulah masyarakat sekitar gunung muria dan para musafir yang singgah menamakan mata air tersebut dengan sebutan “ Air Tiga Rasa”.

Ada bermacam cerita tentang khasiat ketiga air tersebut. Sumber air pertama mempunyai rasa tawar-tawar masam (Jawa: anyep-anyep asem/ kecut) yang bekhasiat dapat mengobati berbagai penyakit. Sumber air kedua mempunyai rasa yang mirip dengan minuman ringan bersoda seperti air sprite yang bekhasiat dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup. Sumber air ketiga mempunyai rasa mirip minuman keras air tuak/ arak yang bekhasiat dapat memperlancar rezeki jika bekerja keras untuk mendapatkannya. Ketiga jenis air tersebut jika dicampur menjadi satu, rasanya menjadi air tawar. Itulah daya tarik dari objek wisata air tiga rasa, penuh sejarah unik dan mitos.

Pengunjung yang kesana tentunya punya tujuan yang beragam. Ada yang memang niat ziarah ke makam Syeh Sadzali, atau penasaran ingin melihat dan merasakan air tiga rasa. Bahkan kadang ada beberapa orang yang mengadakan ritual tertentu di sekitar tempat itu.

Kondisi Objek
Pemandangan alam di sekitar tempat itu sangat indah. Untuk menuju kesana ada dua cara yang sering dilalui para pengunjung. Pertama jalan setapak yang sempit sekitar 2 km ke utara dari pesanggrahan colo melewati bukit-bukit terjal. Lewat jalan ini, pengunjung juga dapat menikmati panorama alam pegunungan yang menghijau segar karena dedaunan perkebunan kopi, lebatnya tanaman pakis Muria, dan palem pegunungan. Merdunya suara kicauan burung-burung dan bunyi-bunyian berbagai jenis satwa khas pegunungan akan menambah daya pikat bagi pengunjung. Melewati jalan ini memang agak sulit diperlukan tenaga extra untuk sampai kesana.

Namun, jika pengunjung kesulitan dan tidak kuat dengan medan jalan kaki yang sulit, bisa mengakses kesana dengan memakai kendaraan sendiri atau ngojek melalui desa Japan ke utara. Walaupun agak jauh, lewat alternatif kedua ini pengunjung tidak terlalu sulit untuk sampai kesana.Kebanyakan masyarakat yang berkunjung kesana, selain berziarah biasanya tertarik untuk mencicipi dan membawa pulang air tiga rasa dengan botol-botol plastik yang bisa didapatkan pengunjung dengan membeli botol plastik di warung sekitar.

Kalau diamati dengan seksama, fasilitas untuk pengunjung di objek wisata air tiga rasa sangat minim. Hanya tersedia mushola, kamar mandi umum, tempat berteduh, beberapa warung makan penduduk dan tempat parkir. Fasilitas itu pun sangat sederhana sekali dan pengelolaannya terkesan kurang adanya konsep manajemen yang bagus.

Butuh Perhatian
Sebenarnya objek wisata sendang air tiga rasa sangat pontensial untuk dikembangkan. Di sana banyak memiliki kelebihan. Makam Syeh Sadzali dan objek sendang air tiga rasa selama ini dikelola oleh sebuah yayasan di desa Japan kecamatan Dawe. Pengelolaannya dipegang oleh yayasan saja. Pemkab setempat belum mengembangkan potensi ini dengan maksimal. Tanpa perhatian berupa asupan dana dari Pemkab setempat mustahil objek itu akan berkembang.

Saya kira jika Pemkab benar-benar menggarap serius potensi wisata tersebut banyak manfaat yang bisa diperoleh. Sebagai masukan, pertama Pemkab bisa memperbaiki atau menambah beberapa fasilitas fisik di sana. Aslinya memang sudah ada beberapa fasilitas bagi pengunjung, meliputi mushola, kamar mandi, tempat istirahat pengunjung, tempat parkir dan sebagainya. Hanya saja fasilitas tersebut masih sanagat sederhana dan kurang layak bagi para pengunjung. Saya amati gedung musholanya juga masih belum sempurna dikerjakan. Jadi perlu kiranya diperbaiki.

Perbaikan berbagai fasilitas lain yang kiranya diperlukan meliputi perbaikan jalan akses ke sana. di sepanjang jalan setapak menuju akses kesana ada beberapa jalan yang membahayakan bagi pengunjung karena tanahnya ada yang semakin sempit karena longsor. Jalan yang berbahaya bisa diberi tulisan peringatan harap-hati-hati atau memberikan pagar khusus agar pengunjung bisa berpegangan pagar kalau jalan kesana licin, ini untuk menghindari mereka terpleset atau terjatuh.

Mungkin agar pengunjung betah berlama-lama disana, Pemkab bisa membangun tempat berteduh yang lebih layak bagi pengunjung. Kawasan air tiga rasa juga bisa disulap menjadi taman rekreasi dan kebun biologi alam. Karena disana ada banyak tanaman biologi beraneka ragam. Semisal fasilitasnya bagus dan manajemen wisatanya dikelola dengan baik, saya rasa pengunjung tidak keberatan jika mereka dipungut biaya masuk kawasan air tiga rasa. Pemasukan itu bisa digunakan untuk biaya perawatan berbagai fasilitas yang ada di sana.

Jika pengunjung banyak, masyarakat sekitar yang berjualan juga akan kecipratan untung. Segala bisnis warga seperti warung makan dimungkinkan akan laris. Meningkatnya jumlah pengunjung bisa mempengaruhi warga sekitar untuk membuka lapangan kerja baru. Jiwa berbisnis warga juga mungkin akan tumbuh. Selain itu pengunjung pun akan merasakan kepuasan tersendiri dalam menikmati objek wisata tersebut.

Dengan demikian, harapannya potensi objek wisata air tiga rasa dapat dikelola dengan optimal. Keberadaan objek itu membutuhkan perhatian banyak dari Pemkab Kudus dan masyarakat sekitar untuk dikembangkan. Sehingga daya tarik objek wisata itu menjadi lebih besar, dan semakin memancing banyak orang untuk sering berkunjung kesana.


Muhammad Noor Ahsin

Warga asli Kudus,
Peneliti Gelegar Institut,
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Semarang.

Memuseumkan Banjir dan Rob Semarang, Bisakah?




Banjir dan rob menjadi masalah klasik Kota Semarang. Hampir setiap musim penghujan tiba, beberapa kawasan, terutama semarang bagian bawah hampir selalu terkena luapan air. Upaya Pemkot (Pemerintah Kota) menuntaskan permasalahan tersebut di kota Atlas dari dulu hingga sekarang sepertinya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Masyarakat Semarang bawah yang sering dilanda banjir nampaknya sudah kenyang merasakan pahit getirnya suasana rumah dikala keadaan sedang banjir. Saat bencana itu datang, barang-barang pun berserakan terbawa arus air, serta keadaan rumah menjadi lembab. Bagi keluarga yang mempunyai anak masih sekolah, tentu kondisi banjir sangat menggangu proses pembelajaran mereka. Ketika banjir sudah surut pun penderitaan mereka belumlah berakhir, biasanya bermacam persoalan dan penyakit pun muncul. Seperti kurangnya air bersih, diare, gatal-gatal dan sebagainya. Hal demikian seakan sudah menjadi tradisi rutin tahunan bagi masyarakat daerah Semarang bawah.

Sebenarnya pemerintah sudah melakukan beberapa usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut. Anggaran pun digelontorkan dari APBD Semarang untuk berbagai proyek menanggulangi masalah banjir dan rob. Hanya saja, penyelesaian yang kurang optimal dan terkesan setengah-setengah menyebabkan problem itu tak kunjung tuntas.

Rugikan Banyak Pihak
Problem tersebut merupakan sebuah pekerjaan rumah Pemerintah Kota Semarang yang semestinya mendapatkan perhatian extra dan perlu adanya tindakan nyata. Para pemangku kebijakan perlu lebih sungguh-sungguh memprioritaskan penyelesaian konkret masalah itu. Disadari atau tidak, upaya penyelesaian yang setengah-setengah hanya akan merugikan banyak pihak terutama masyarakat kota Semarang.

Semakin berlarut-larutnya upaya penyelesaian juga bisa mengahambat para investor mananamkam modalnya di Semarang. Hal itu pun bisa menimbulkan bermacam gejolak baru dalam masyarakat. Baru-baru ini, ketua komite tetap pengembangan investasi Kadin Jateng, Didik Soekmono pun merasa risau. Dalam tulisannya yang dilansir harian ini pada (29/1), beliau sampai merasa malu ketika mengantar calon investor melintas jalan Mataram-Bubakan-Pengapon-Jalan Raya Kaligawe Kota Semarang. Hal tersebut karena daerah itu kondisi genangan airnya sangat memprihatinkan.

Saat beliau meyakinkan sang calon investor bahwa potensi investasi di Ibukota Provinsi Jateng sangat layak diubah menjadi kegiatan ekonomi riil, ternyata malah mendapat tanggapan berupa sindiran yang luar biasa mengejutkan dari calon investor.

“Potensi wisata dayung menyusuri jalan protokol dan kawasan industri mempunyai prospek yang cerah”, demikianlah ucapan Seorang investor terhadap kondisi Kota Semarang. Pernyataan atau sindiran itu sungguh menggelitik, dan tentu saja sangat beralasan, karena kondisi di lapangan memang seperti itu. Dari dulu hingga sekarang sepertinya permasalahan banjir dan rob menjadi fenomena yang selalu menghiasi potret kelabu Kota Semarang.

Sungguh ironis, sindiran dari para investor tersebut tentu saja sangat mengancam dunia investasi Kota Semarang. Iklim investasi akan berjalan dengan lancar salah satunya harus di dukung oleh fasilitas, serta sarana dan prasarana yang baik. Sindiran itu merupakan satu masukan yang harus diapresiasi bersama, terutama pemangku kebijakan terkait. Melihat kondisi Kota Semarang yang selalu didera permasalahan banjir dan rob serta penanganan yang belum optimal, bukan tidak mungkin para investor akan mengurungkan niat untuk tidak menanamkan modalnya di kota Atlas.

Jika hal itu terjadi, tentunya akan sangat merugikan banyak pihak. Meskipun ada banyak daya tarik yang ditawarkan Pemkot Semarang mengenai prospek investasi kepada calon investor, melihat wajah kota yang sering dilanda banjir tentu akan berpikir seribu kali. Pendek kata, banjir yang terjadi jelas sangat memperburuk daya tarik investasi Kota Semarang.

Banyak analis mengatakan bahwa, Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip terkesan sudah putus asa terhadap penuntasan permasalahan banjir dan rob. Itu tergambar dari pernyataaan Sukawi yang pernah mengatakan bahwa, Pemkot sudah tidak mampu lagi menangani rob. Pernyataan itu tentu saja menunjukkan sikap pesimisme berlebih yang seharusnya tak diucapkan. Segala permasalahan tentu saja ada jalan keluarnya. Kadar cobaan yang diberikan tuhan kepada manusia itu disesuaikan dengan kemampuaannya. Begitu juga dengan permasalahan banjir yang dialami Kota Semarang.

Melihat kondisi sekarang, dapatkah Pemkot Semarang menuntaskan permasalahan banjir dan rob? Atau paling tidak mampukah Pemkot meminimalisir meluasnya permasalahan banjir dan rob di Kota Semarang? Jelas pertanyaan yang sulit untuk di jawab. Tapi, jika ada komitmen yang sungguh-sungguh dari Pemkot Semarang serta dukungan dari saemua pihak, bukan tidak mungkin tahun-tahun mendatang permasalahan itu akan terselesaikan dengan tuntas.

Hal itu tentu saja sangat bergantung dari pemangku kebijakan terkait yang mengurusi masalah itu. Sikap optimis perlu ditanamkan untuk mengatasi itu. Berbagai proyek berkait penyelesaian itu semestinya diselesaikan dengan cepat dan sungguh-sunguh. Semisal, penataan drainase, pembuatan penampungan air (polder) dan penyelesaian waduk jatibarang, serta normalisasi sungai. Mengatasi masalah itu, pembangunan pintu air di muara Kali Semarang atas masukan dari pakar Hidrologi Undip, Nelwan sepertinya menjadi usulan bagus yang patut dipertimbangkan untuk direalisasikan. Pembangunan pintu air di muara Kali Semarang itu akan dilakukan seiring proyek Waduk Jatibarang dan normalisasi Banjirkanal.

Kerjasama dan dukungan semua pihak juga sangat penting. Seperti peran aktif masyarakat sekitar untuk mencegah masalah banjir dan rob dengan menerapkan sikap hidup sehat dan cinta lingkungan. Semisal dengan menjaga kebersihan, tidak membuang sampah di sungai dan sebagainya. Akhirnya, kita hanya berharap semoga penyelesaian masalah banjir dan rob Kota Semarang segera dapat berakhir dengan tuntas. Semoga saja.




Muhammad Noor Ahsin
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes,
Pegiat di komunitas Gelegar institut
Semarang.