Selasa, 05 April 2011

Ke(tidak)suksesan Program Sertifikasi Guru

Dewasa ini, permasalahan menurunnya profesionalitas guru bersertifikasi pascasertifikasi menjadi polemik yang hangat diperbincangkan publik. Guru yang dicap sebagai pendidik profesional setelah lulus sertifikasi, sebagian besar dalam praktiknya malah tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Guru-guru yang sudah lolos sertifikasi umumnya tidak menunjukkan kemajuan, baik dari sisi pedagogis, kepribadian, profesional, maupun sosial. Guru hanya aktif menjelang sertifikasi, tetapi setelah dinyatakan lolos, kualitas mereka justru semakin menurun. Hal itu diungkapkan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh saat di Surabaya (Kompas, 1/11/2010).

Permasalahan program sertifikasi guru tersebut seolah menjadi “drama kelabu” dunia pendidikan yang cukup menyita banyak perhatian. Sangat disayangkan jika program tersebut menuai banyak kontroversi dan disinyalir hanya sekadar formalitas tanpa dibarengi kualitas kinerja guru yang meningkat. Padahal pemerintah sudah menggelontorkan banyak nominal rupiah untuk program sertifikasi guru dengan alokasi dana yang tidak sedikit.

Di Indonesia program sertifikasi yang diproyeksikan berakhir 2014 kini telah menjangkau kurang lebih 500.000 guru dari target 2,7 juta guru. Dana APBN yang dikucurkan untuk tunjangan profesi pun besarnya mencapai Rp 160 triliun (Suara Merdeka, 21/12/10).

Patut diketahui bahwa program sertifikasi sebagaimana diamanatkan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen antara lain bertujuan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional dalam meningkatkan proses dan hasil pembelajaran. Dalam praktiknya, program sertifikasi profesi guru yang kini sudah berjalan selama empat tahun cenderung dipahami sebatas sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Jika asumsi ini benar, maka perilaku sebagian besar guru bersertifikasi yang bersikap “seenaknya” tanpa adanya upaya peningkatan dalam proses pembelajaran bisa dikatakan melakukan penyimpangan etika normatif profesi.

Etika normatif diartikan sebagai etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki atau dijalankan oleh pihak, dan tindakan apa yang seharusnya dilaksanakan berkaitan dengan jabatan, profesi, dan posisi yang ditentukan. Etika normatif berbicara mengenai norma-norma ideal yang menuntun tingkah laku manusia serta memberi penilaian dan himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan norma-norma tertentu (AT. Soegito, 2005).

Dampak Pascasertifikasi
Dalam konteks sertifikasi guru, tindakan sebagian besar para guru bersertifikat profesional yang mengajar tidak serius dan tidak mengalami peningkatan hasil pembelajaran jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap peraturan dan etika normatif. Pertanyaannya adalah mengapa seorang guru profesional yang notabene panutan dan ujung tombak dalam mencerdaskan anak bangsa justru malah melakukan pelanggaran?

Sungguh ironis bangsa ini. Kapan Indonesia akan maju kalau para guru cenderung tidak profesional dalam mendidik siswanya meskipun ia berpredikat sebagai guru profesional. Dalam realitas di lapangan, kondisi guru bersertifikasi yang mengajar asal-asalan tentunya dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi guru lainnya, khususnya guru yang belum tersertifikasi. Hal ini adalah fakta yang terjadi di lapangan. Bagi guru yang belum bersertifikasi menganggap bahwa itu adalah bentuk ketidakadilan. Mengapa kualitas mengajarnya tidak ada peningkatan kok malah dapat tunjangan yang banyak. Apakah karena kurangnya pengawasan dan sanksi yang tegas dari pemerintah? Atau memang mental dan perilaku sebagian besar guru bersertifikasi yang menyalahi aturan?

Itulah sebagian kecil dampak buruk hasil program sertifikasi guru yang terjadi dilapangan. Semua pihak tentu berharap guru bersertifikasi profesional, dengan kesadaran diri mau dan berusaha mengajar dengan lebih baik. Pengawasan dan sanksi tegas dari pemerintah seyogianya juga perlu diterapkan. Untuk itu, berbagai solusi hendaknya perlu diupayakan untuk mewujudkan harapan tersebut.

Kiranya banyak hal yang harus dievaluasi berkaitan dan program sertifikasi profesi guru. Tentunya pemerintah tidak mau program itu dikatakan gagal atau mengalami ketidaksuksesan. Oleh sebab itu, pintu lebar sudah semestinya dibuka oleh pemerintah untuk menerima saran dan kritik dari masyarakat. Nantinya masukan-masukan dari publik tersebut bisa dijadikan bahan evaluasi dan pertimbangan pemerintah dalam melangkah. Harapannya ke depan, tentu program sertifikasi guru tersebut akan menuai sukses sesuai tujuan, yang kebermanfaatannya dapat dirasakan serta berpengaruh pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Semoga saja.


(Tulisan di atas pernah dimuat di Radar Kudus Jawa Pos pada Selasa, 1 Februari 2011).



Muhammad Noor Ahsin, S.Pd.

Pemerhati Masalah Pendidikan,
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
di Madrasah Aliyah NU TBS Kudus

Memberdayakan Remaja Sebagai Kader Kesehatan

Setiap musim hujan, hampir dipastikan jumlah penderita Demam berdarah Dengue (DBD) di berbagai daerah selalu menunjukkan angka peningkatan. Hal ini terjadi karena banyak genangan air yang diduga dapat memicu perkembangbiakan nyamuk Aedes aegipty penyebab demam berdarah.

Penyakit demam berdarah merupakan penyakit yang seolah rutin menghinggapi warga ketika musim hujan. Masyarakat di berbagai daerah dan kota di Jawa Tengah hendaknya perlu mewaspadai ancaman penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk tersebut. Apabila tidak ada sikap waspada, antisipasi, dan penanganan yang baik, angka penderita dan bahkan kematian akibat penyakit itu dimungkinkan bisa meningkat.
Contohnya di kota Kudus. Di daerah penghasil jenang ini, angka penderita DBD pada tahun 2010 kemarin ternyata meningkat dan paling tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hujan berkepanjangan diduga menjadi faktor utama mengganasnya DBD di kota Kudus.

Sepanjang tahun 2010 penderita DBD di Kota Kudus tercatat 1.118 penderita dan meninggal sebanyak 33 orang. Sedangkan tahun 2009 hanya 663 penderita dengan angka kematian 25 orang. Tahun 2008 lalu juga tercatat hanya 641, dengan kematian 18 orang. Untuk daerah endemis di Kudus, Kecamatan Jati dan Kota masih paling tinggi dibandingkan daerah lainnya. Pola serangannya juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya serangan DBD lebih banyak ke anak kecil, sekarang justru banyak orang dewasa yang terserang (Suara Merdeka, 14/1/2011).

Tindakan Preventif

Fakta tersebut menunjukkan bahwa DBD merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Meningkatnya grafik penderita dan korban kematian akibat DBD di kota Kudus dari tahun ke tahun memang cukup memprihatinkan. Tentunya masyarakat tidak mau jika di tahun 2011 ini nanti jumlah korban DBD di kabupaten Kudus dan sekitarnya malah semakin meningkat lagi.

Pertanyaannya adalah, sejauh manakah upaya penanganan dan tindakan preventif dari Pemerintah Kabupaten dan Dinas Kesehatan Kota Kudus berkaitan dengan maraknya penyakit DBD di masyarakat? Sebagai kader kesehatan, lantas bagaimanakah peran Palang Merah Remaja (PMR) di sekolah dalam menyikapi masalah ancaman penyakit demam berdarah tersebut?

Setidaknya ada banyak hal yang harus dilakukan berkaitan dengan upaya penanganan dan usaha preventif mengatasi masalah penyakit DBD yang mulai marak dan meresahkan banyak kalangan. Pertama, pengobatan langsung dan pemberian subsidi bagi penderita DBD. Ketika masyarakat sakit kebanyakan orang tidak langsung memeriksakan keluhan penyakitnya jika mengalami gejala demam atau bintik-bintik merah. Kondisi ekonomilah yang kadang menyebabkan hal itu dengan alasan biaya berobat bermahal. Untuk itu, pemberian subsidi atau keringanan pembayaran berobat sangatlah diharapkan oleh masyarakat agar semakin meringankan beban hidup dalam biaya pengobatan.

Optimalisasi Fungsi PMR
Kedua, penggalakan kampanye pencegahan DBD dalam ranah sekolah. Hal itu penting sebagai upaya pemahaman kepada siswa dan remaja sekolah tentang bahaya penyakit DBD. Siswa merupakan generasi bangsa dan aset bangsa yang perlu diberdayakan. Kampanye pencegahan penyakit DBD di lingkungan sekolah dapat bekerja sama dinas pendidikan, Palang Merah Indonesia (PMI) kabupaten kudus, serta anggota Palang Merah Remaja (PMR) di tiap sekolah. Pemahaman siswa tentang kesehatan dan penyakit DBD dapat menjadi pengetahuan yang berharga dalam upaya pencegahan merebaknya penyakit itu. Hal itu merupakan salah satu upaya preventif pencegahan penyakit DBD jangka panjang yang dinilai sangat penting.

Ketiga, Sosialisasi membudayakan hidup bersih dan sehat kepada masyarakat. Tempat yang kurang bersih dan banyaknya sampah seperti botol platik dan sebagainya dapat menjadi tempat genangan air jika ada hujan dan berpotensi menjadi sarang berkembangnya nyamuk Aedes aegipty. Dalam hal ini, PMR di sekolah kiranya juga penting untuk diberdayakan dalam upaya sosialisasi hidup sehat kepada masyarakat. Hal itu sesuai dengan bunyi Tri Bakti PMR point dua yang berbunyi “berkarya dan berbakti di masyarakat.”

Upaya sosialisasi dan pemahaman tentang hal ini, semisal dengan penggalakan dan kampanye program 3M. Yaitu menguras, menutup, mengubur sampah yang berpotensi menjadi tempat genangan air. Selain itu juga menggalakkan sosialisasi cara hidup sehat kepada masyarakat dan upaya lainnya sebagai bentuk usaha preventif mencegah bahaya penyakit DBD.

Dengan begitu, harapannya masyarakat semakin waspada dan selalu menjaga kebersihan ketika musim hujan agar terhindar dari penyakit DBD. Di musin hujan seperti sekarang ini, apabila suatu saat nanti diri kita merasa mengalami tanda-tanda penyakit DBD, seperti demam tinggi dan timbul bintik-bintik merah, segeralah langsung periksakan diri ke dokter agar cepat ditangani dan disembuhkan. Waspadalah.



(Tulisan di atas pernah dimuat di koran Radar Kudus Jawa Pos pada Selasa, 5 April 2011).



Muhammad Noor Ahsin, S.Pd

Peminat Kajian Kesehatan,
Guru dan Pembina PMR
di Madrasah Aliyah NU TBS Kudus