Jumat, 11 November 2011

Guru Besar, Tak Hanya Nama



DI lingkup kampus, jumlah dosen atau akademisi yang menyandang gelar magister, doktor, profesor atau bahkan guru besar emeritus kiranya cukup banyak. Namun, para dosen atau guru besar kampus yang mampu memaparkan gagasan, ide, dan pengembangan keilmuannya secara tertulis dalam bentuk buku, agaknya masih sangat sedikit.

Di Indonesia, para dosen yang produktif membuat buku memang tidak banyak. Yang rajin menulis gagasan, berupa artikel di media massa saja masih sedikit, apalagi menulis buku. Bahkan ada guyonan yang menyatakan banyak profesor yang sekadar GBHN. Maksudnya guru besar hanya nama. Cuma mendapat gelar, label, atau berupa simbol akademis yang hanya melekat pada nama saja. Sungguh ironis.

Menulis Buku

Pertanyaannya adalah apakah seorang profesor atau guru besar yang tidak pernah menulis buku, bisa dikatakan kredibel dan diakui kepakarannya? Seorang dosen atau profesor yang hanya puas sibuk mengajar saja, tanpa pernah meneliti serta melakukan pengabdian masyarakat, dan menulis buku, kiranya belumlah bisa dikatakan sebagai akademikus kampus yang kredibel.

Dalam lingkup nasional dan internasional, akademisi yang belum memiliki karya tulis (publikasi artikel, jurnal, dan buku) kiranya belum bisa dianggap pakar, walaupun dia sudah bergelar MA atau PhD. Sebaliknya, walaupun baru lulus S1, jika sudah menulis buku, maka bisa dianggap pakar (Mario Gagho, 2005).

Memang banyak pendapat yang menyatakan bahwa, cara termudah bagi seorang aka­demisi untuk membangun kredibilitas aka­demiknya adalah dengan menulis buku.

Ini tidak berarti bahwa kalangan aka­de­mis yang tidak menulis buku dikatakan ku­rang kredibel. Mungkin bisa saja mereka le­bih pintar dari yang menulis buku. Tapi, tan­pa memiliki karya, bagai­mana orang tahu bah­wa sang dosen atau sang profesor me­miliki ka­pabilitas atau kemampuan aka­de­mis yang mumpuni?

Peradaban Intelektual

Menilik ke belakang, dahulu di zaman peradaban Islam pada Abad pertengahan, banyak melahirkan ilmuan Islam yang produktif menulis buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan. Contohnya adalah Ibnu Rusyd. Seorang ilmuan muslim cerdas dan intelek yang me­ngua­sai banyak bidang ilmu, se­perti Alquran, kedokteran, fisika, biologi, filsafat dan astronomi.

Ia lahir pada tahun 1198 di Kordoba, Spanyol. Semasa hidupnya ia menghasilkan sekitar 78 karya tulis berbentuk buku. Selain itu, ada Ibnu Sina yang dinobatkan sebagai bapak kedokteran. Ia adalah seorang ilmuan yang jenius pada masanya dan juga sangat produktif menulis banyak buku (Wahyu Murtiningsih, 2008).

Para ilmuan Islam turut berperan besar dalam memajukan dunia Islam dan menyulut berkobarnya renaisans, yang menandai bangkitnya Eropa dari keterpurukan. Di negara-negara maju, seperti di Benua Eropa, seorang akademisi akan dianggap seorang cendikiawan dan diakui kepakarannya jika dia sudah menelurkan karya tulis berupa buku. Produktivitas menulis buku penduduk di Benua Eropa memang cukup positif dan mampu menyebabkan berbagai ilmu pengetahuan semakin berkembang.

Di kalangan guru besar kita, beberapa penulis buku produktif yang patut ditiru antara lain adalah almarhum Prof Dr Kuntowijoyo. Ia adalah tokoh budaya Indonesia yang haus ilmu. Seorang guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya UGM. Sastrawan yang mahir berkata-kata. Serta seorang sejarawan akademis yang telaten dan produktif berkarya.

Selain itu, ada Rhenald Kasali, seorang guru besar FE UI yang sangat produktif juga menulis buku. Guru besar lain yang juga produktif menulis di antranya adalah Prof Mudrajad Kuncoro PhD. Guru besar Ilmu Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (UGM).

Yang unik adalah Budi Sutedjo Dharma Oetomo SKom MM, dosen Fakultas Teknologi Informasi UKDW Yogyakarta berhasil meraih piagam penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). Budi di­catat oleh Muri atas rekor penulis pada 84 me­dia, dengan materi 145 bidang ilmu yang diterbitkan dengan menggunakan 18 inisial. Kini, Budi telah menghasilkan lebih dari 1.058 karya, terdiri atas 629 opini, 21 feature, 164 ar­tikel populer, 49 artikel ilmiah, dan 195 ad­vertorial yang dimuat di berbagai media, dan to­tal menulis buku mencapai 95 buah. (Sua­ra Merdeka, 7/10/2011).

Itulah sebagian contoh guru besar dan do­­sen yang patut ditiru karena produktivitas in­­­telektualnya dalam berkarya dan membuat bu­­ku. Semua pihak tentu berharap bahwa pa­­­ra profesor kampus di Indonesia dapat men­­jadi guru besar yang tak hanya sekadar na­­ma saja. Tetapi menjadi guru besar yang me­­mang memiliki kredibilitas karena banyak melakukan penelitian, menulis buku, artikel atau publikasi ilmiah lainnya. (24)

(Dimuat di koran Suara Medeka pada hari Sabtu, 29 Oktober 2011)

—Muhammad Noor Ahsin SPd, mantan aktivis pers mahasiswa Unnes, pendidik dan peneliti sosial di Madrasah Aliyah NU TBS Kudus.

Jangan Hanya Pandai Retorika, Mulailah Menulis

DALAM dunia kampus, menulis merupakan sebuah aktivitas intelektual yang sangat bermanfaat dan dapat mengasah kreativitas seseorang. Para mahasiswa yang gemar menuangkan gagasan kreatifnya di media massa, sudah pasti namanya akan moncer karena dikenal oleh publik secara luas.

Mahasiswa yang demikian, tentu tidak hanya dapat mengharumkan nama baik dirinya, tapi juga dapat membanggakan seluruh civitas academica kampus tempatnya menuntut ilmu. Dengan menulis di media massa, seseorang akan dikukuhkan sebagai warga intelektual. Serta, kiranya tidaklah berlebihan apabila mereka dikatakan sebagai ’’selebritas’’ kampus.

Manfaat yang didapat dari aktivitas menulis tentu sangat banyak. Sahabat Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, ikatlah ilmu dengan tulisan. Perkataan yang bernada anjuran menulis ilmu tersebut tentu mempunyai makna yang sangat dalam. Dengan aktivitas menulis, seseorang akan dimuliakan karena ilmu yang ia tulis. Itu sesuai dengan janji Allah kepada makhluknya, yaitu Allah akan mengangkat derajat orang-orang berilmu menjadi beberapa derajad. Makna kata derajad di atas tentu adalah kemuliaan. Pembuktian kemuliaan itu dapat diketahui melalui dua cara, yaitu mulia di dunia (mendapat materi) dan mulia di akhirat (ahli surga).

Dalam lingkup kampus, mahasiswa yang tulisannya dimuat, tidak jarang tiba-tiba menjadi bahan perbincangan karena menulis di media massa. Mungkin itulah salah satu dampak positif yang akan didapat seseorang mahasiswa yang namanya bisa nongol di media massa. Seorang yang menulis tentu akan dikenal secara positif oleh warga kampus dan masyarakat. Di samping itu, ketika tulisan yang ditulis mahasiswa dapat memberikan manfaat kepada khalayak umum, tentu dapat bernilai ibadah, dan kerja kreatif tersebut tentu bisa mendapatkan pahala. Orang yang berpahala, jaminannya adalah surga.

Dengan menulis, para mahasiswa dapat menuangkan bermacam ide ke dalam bentuk tulisan. Menulis merupakan sebuah aktivitas intelektual dan wujud eksistensi seseorang untuk berkiprah dan berbagi ide kepada orang lain. Kebahagiaan seorang penulis adalah ketika tulisannya dimuat di media massa, lebih-lebih ketika dikomentari seseorang, menjadi buah bibir, dan tentunya ketika menerima honor.

Para pemikir zaman dahulu, seperti Aristoteles, Plato, Einstein, Ki Hajar Dewantara, RA Kartini, Soe Hok Gie, dan sebagainya dapat diketahui kadar intelektualitasnya, salah satunya melalui karya atau tulisan yang dihasilkannya. Walaupun mereka sudah meninggal, tapi mereka seolah masih ada dan masih bisa memberi manfaat karena telah meninggalkan tulisan atau karya yang bisa dibaca setiap orang sepanjang massa.

Membaca

Sayangnya, masih sedikit mahasiswa dan warga umum yang rajin menulis di media massa.
Diskursus kegiatan menulis atau budaya literasi di kalangan mahasiswa memang belum semarak. Bisa dikatakan hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu saja yang eksis dan rajin menulis. Itu pun persentasenya masih sangat sedikit.
Kendati demikian, asalkan ada keinginan, niat dan usaha yang tekun untuk menulis, semua mahasiswa tentu bisa menjadi penulis. Semangat menulis sudah semestinya ditumbuhkan dalam diri setiap mahasiswa. Janganlah berhenti menulis hanya gara-gara beralasan tidak punya waktu atau sebagainya.

Tetaplah menjaga konsintensi dalam menulis. Selain itu, hal penting untuk menunjang profesi menulis adalah dengan banyak membaca buku. Bisa dikatakan, buku adalah gudang ilmu dan gudang kosakata yang dapat menjadi amunisi mahasiswa dalam menulis. Sangatlah mustahil menjadi penulis jika kita tidak suka membaca. Karena membaca itu berbanding lurus dengan kemampuan menulis.

Dengan membaca, kita banyak menemukan informasi, ide, dan imajinasi. Karena bacaan dapat menjadi sumber atau referensi yang bisa kita kemas menjadi sebuah tulisan yang bagus. Membaca tidak hanya yang berbentuk buku, tapi juga membaca secara luas, dalam arti membaca fenomena dan permasalahan yang ada dalam masyarakat. Jadi mahasiswa dituntut peka terhadap keadaan lingkungan sosialnya. Di sinilah elemen faktor membaca begitu sangat penting sekali. Kita bisa menyelami berbagai macam kota, negara, benua dan seluruh tempat di dunia dengan membaca.

Setelah banyak membaca lalu menulislah. Gagasan yang hanya diomongkan secara lisan tidaklah akan bertahan lama.
Mahasiswa jangan hanya pintar pidato dan sekadar retorika saja. Putuskan mulai sekarang ini untuk selalu menyempatkan waktu membaca dan menulis.
Seperti pepatah latin, scripta manent verba volant (yang tertulis akan mengabdi, yang terucap akan berlalu bersama angin). (24)

(Dimuat di Koran Suara Merdeka pada hari Sabtu, 25 Juni 2011)

—Muhammad Noor Ahsin SPd, mantan aktivis pers mahasiswa di Tabloid Nuansa BP2M Unnes, pendidik dan peneliti sosial di Madrasah Aliyah NU TBS, Kudus.

Rekonstruksi Gerakan Pers Mahasiswa

DEWASA ini, geliat perkembangan pers mahasiswa (persma), di tiap kampus mengalami dinamika yang menggairahkan. Hampir semua kampus telah memiliki lembaga pers yang dikelola oleh para mahasiswa sebagai media informasi, wahana pengembangan kreativitas, dan ajang pertukaran ide.

Dengan pers mahasiswa, beberapa informasi kegiatan, kebijakan kampus, opini mahasiswa, dan informasi lainnya dapat disajikan, baik dalam bentuk buletin, tabloid, ataupun majalah kampus. Menu informasi yang dibuat dan diolah oleh para awak media kampus tentunya dapat berkorelasi positif terhadap perkembangan dinamika bagi kebebasan berkreasi dan bersuara para mahasiswa untuk menunjang demokratisasi kampus.

Mendidik Pembaca

Fungsi persma atau bisa disebut pers kampus di antaranya adalah sebagai media informasi kampus dan alat pengontrol kebijakan publik. Selain itu, persma juga berfungsi menjadi corong bagi perjuangan gerakan mahasiswa melalui jalur tulisan, karena eksistensi persma diakui mampu memengaruhi opini publik.
Untuk itu, pers mahasiswa sudah semestinya dapat meningkatkan peran untuk ikut mendidik warga kampus, lewat berbagai tulisan yang kritis dari berbagai disiplin ilmu. Pers berbasis idealisme, seperti pers mahasiswa, misalnya, tidak saja menampilkan tulisan-tulisan ilmiah kaku yang tidak aplikatif, namun diharapkan juga dapat menyajikan pemikiran kritis segar, agar dapat menggugah kesadaran moral dan dapat mencerdaskan pembaca tidak hanya warga kampus, tapi juga masyarakat luas.

Rekonstruksi gerakan pers mahasiswa tersebut sudah semestinya menjadi perhatian bersama, agar ke depan persma lebih banyak berperan untuk turut mendidik masyarakat pembaca secala lebih luas.
Menilik ke belakang, dengan pers, para tokoh kemerdekaan Indonesia dahulu juga melakukan gerakan dan perjuangan melalui tulisan untuk memengaruhi publik dan mendidik masyarakat dalam upaya memperjuangkan cita-cita kemerdekaan. Walaupun tingkat pendidikan mayoritas rakyat saat perjuangan kemerdekaan Indonesia masih rendah, para tokoh pergerakan bangsa sangat sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme, selain mimbar-mimbar persatuan. Dengan pers pula, pesan dan gagasan memiliki tingkat aksebilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional.

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari gerakan pers para tokoh kemerdekaan bangsa. Dengan pers, para tokoh bangsa dahulu sangat getol menyuarakan gagasan, aspirasi, dan ide-ide tentang nasionalime serta perjuangan melawan penjajah.

Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita didirikan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Posisi para tokoh kunci pergerakan kebangsaan Indonesia, dalam struktur pers umumnya adalah pemimpin redaksi atau paling rendah adalah redaktur. Sebagai contoh, HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu ’’guru pergerakan’’ adalah Pemimpin Redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa.

Tiga serangkai, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr Tjipto Mangunkusumo menukangi De Express. Selain itu, ada nama Semaoen, diusianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia.
Sebelum berkosentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hajar Dewantara adalah Pemimpin Redaksi Persatoean Hindia dan bahu membahu bersuara dalam majalah Pemimpin. Adapaun Soekarno menjadi Pemimpin Redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat.

Setelah pulang dari Belanda dan menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohmmad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi Pemimpin Redaksi Banteng, serta masih banyak lagi (Taufik Rahzen, 2007).

Peran Penting Persma

Hal di atas merupakan sedikit kisah tentang gerakan pers para tokoh bangsa pada masa prakemerdekaan. Gerakan pers yang dilakukan para tokoh kemerdekaan zaman dulu dengan gerakan pers mahasiswa tentunya memiliki banyak perbedaan. Akan tetapi, keduanya tentu memiliki kesamaan, di antaranya untuk menginformasikan berita, alat kontrol publik, dan mendidik pembaca.

Fungsi mendidik pembaca sudah semestinya dijadikan spirit utama bagi gerakan Persma untuk lebih berperan dan berkontribusi secama luas. Dalam menyajikan tulisan, sisi kreativitas, dan daya inovasi awak persma sangat dibutuhkan dalam menentukan tema suguhan peristiwa agar menarik dan layak diinformasikan.

(dimuat di Koran Suara Merdeka hari Sabtu, 11 Juni 2011)


—Muhammad Noor Ahsin SPd, mantan aktivis pers mahasiswa di Tabloid Nuansa BP2M Unnes, pendidik dan peneliti sosial di Madrasah Aliyah NU TBS, Kudus.
From: Suara Merdeka