Senin, 28 November 2011

Pendidikan Karakter Melalui Teater


KUDUS-Beberapa siswa kelas XI-C (Bahasa 1) melakukan pentas teater di ruang multi media, lantai 3 gedung utara MA NU TBS Kudus. Mereka mementaskan teater dengan judul “Maafkan Aku Guru” yang dipentaskan baru-baru ini . Naskah teks teater dibuat sendiri dan disutradarai langsung oleh M. Syaifun Nasir, selaku siswa kelas XI-C MA TBS.

Sebenarnya pentas ini merupakan tugas akhir semester mata pelajaran sastra, bagi kelas XI Bahasa. Yaitu tugas praktik pelajaran Sastra Indonesia. Sebelumya mereka diberi penjelasan tentang materi pementasan tetater atau drama. Selain itu siswa juga sudah manyaksikan contoh video pemantasan drama dan sebagainya.

Selain kelas XI-C, penampilan teater juga dilakukan oleh kelas XI-D (bahasa 2). Dalam satu kelas dibagi menjadi empat kelompok. Sehingga, karena ada dua kelas, jadi semua yang tampil ada 8 kelompok. Tiap kelompok berjumlah sekitar 10 orang. Dalam satu kelompok ada yang jadi pengarang naskah, sutradara, pemain atau aktor, seksi artistik, perlengkapan, dan sebagainya.

Harapan dari tugas ini siswa akan mendapatkan pengalaman langsung dalam bermain teater atau drama. Praktik langsung itu dirasa sangat penting. Karena dengan praktik mereka lebih memahami dan merasa mampu mengaplikasikan ilmu sastra yang diperoleh.
Salah satu siswa yang telah mementaskan naskah tetaet menyatakan, “Ada kesan menyenangkan dan menyedihkan yang saya alami ketika bermain teater. Dengan bermain teater dapat menggugah perasaan kita dalam menyelami arti hidup. Dan melatih kepekaan perasaan kita terhadap sesama” Kata M. Nailul Fahmi, salah satu pemain drama, kelas XI-C MA NU TBS.

Pendidikan Karakter

Karya sastra berupa naskah teater dapat membuat penulis dan pembaca dekat dengan kehidupan. Naskah teater yang dipentaskan dapat pula melatih kepekaan perasaan, melatih rasa simpati dan empati terhadap sesama. Sehingga bermain teater merupakan salah satu alternatif mananamkan pendidikan karakter kepada generasi bangsa (para pelajar) yang dewasa ini dinilai sangat penting.

Melalui karya sastra sering diketahui keadaan, cuplikan-cuplikan kehidupan masyarakat seperti dialami, dicermati, ditangkap, dan direka oleh pengarang. Bahkan, seringkali sebuah suasana tertentu dapat lebih dihayati dengan membaca dan mengapresiasi sebuah cerpen, novel atau sebiji sajak, atau mementaskan naskah teater daripada membaca suatu laporan penelitian yang ilmiah.

Pendidikan sastra yang merupakan ilmu humaniora harus terus diupayakan oleh guru bahasa Indonesia di sekolah. Karena ilmu sastra berperan sangat besar menanamkan nilai-nilai investasi moral masa depan dan melatih pendidikan karakter, mengingat sastra itu berbicara tentang manusia dan kemanusiaan.

(Tulisan di atas pernah dimuat di Suara Muria Suara Merdeka, di rubrik Jurnalisme Warga pada Senin, 4 Desember 20011).

Oleh Muhammad Noor Ahsin,
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
MA NU TBS, kelurahan Kajeksan, Kudus.