Selasa, 23 Maret 2010

Mempercantik Patung Warak Ngendok



Patung Warak Ngendok yang berada di Jalan Raden Patah Semarang boleh dikatakan merupakan salah satu tetenger "Kota Atlas" yang memiliki makna filosofis dan historis yang cukup tinggi. Patung yang dibangun setinggi lebih kurang 5 meter itu berada sekitar 50 meter sebelah kiri SD Islam Sultan Agung 4 Semarang.

Menurut cerita masyarakat, warak merupakan binatang mitologis yang dikenal masyarakat Semarang sebagai simbol akulturasi tiga kebudayaan, yaitu Jawa, Arab, dan China. Patung hewan rekaan ini tubuhnya menyerupai kambing atau buroq dengan kepala mirip ular naga.

Warak berbadan seperti buroq sebagai simbol budaya Arab, bentuk bulu ayam yang berada di tubuh warak sebagai manifestasi budaya Jawa, dan berkepala naga mewakili budaya China. Dalam versi lain, simbol budaya Jawa diwakili oleh kaki warak yang seperti kambing. Konon awal mula keberadaan warak tidak terlepas dari ritual dugderan yang dilakukan warga Semarang untuk menyambut Ramadhan. Ritual dugderan dimulai sejak 1881, ketika Adipati Arya Purbaningrat memerintah Kadipaten Semarang.

Warak Ngendok pun bisa dikatakan merupakan representasi pluralitas dan budaya khas milik warga Semarang. Sebagai bentuk penghargaan atas keunikan dan ciri khas tersebut, Komisi Pemilihan Umum Kota Semarang pun memilih Warak Ngendok sebagai maskot Pemilihan Wali Kota Semarang 2010.

Sayangnya, patung Warak Ngendok di pertigaan Jalan Raden Patah Semarang yang sarat akan makna budaya, historis, dan filosofis tersebut kini kondisinya kurang terawat dengan baik. Beberapa waktu lalu, ketika melewati jalan tersebut, penulis sempat berhenti dan mengamati kondisi fisik patung yang sudah tidak utuh. Kaki depan sebelah kanan tampak berlubang besar dan yang paling parah adalah kondisi perut patung warak yang berlubang cukup besar. Selain itu, cat aneka warna yang menghiasi tubuh patung warak tampak sudah agak luntur.

Taman di sekitar patung dipenuhi sampah dan rumput yang sudah meninggi. Tidak ada tulisan yang menjelaskan tentang nama patung atau sejarahnya.

Semoga Pemerintah Kota Semarang tergugah sehingga memerhatikan dan mempercantik patung Warak Ngendok beserta taman di sekelilingnya. Dengan demikian, simbol akulturasi budaya dan pluralisme milik warga Semarang tersebut senantiasa terjaga.


(Tulisan di atas pernah dimuat di koran kompas rubrik kota kita pada Kamis, 4 Maret 2010)



MUHAMMAD NOOR AHSIN
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Unnes,
Pegiat Komunitas Harmoni
Semarang

Mempercantik Patung Warak Ngendok

Patung Warak Ngendok yang berada di Jalan Raden Patah Semarang boleh dikatakan merupakan salah satu tetenger "Kota Atlas" yang memiliki makna filosofis dan historis yang cukup tinggi. Patung yang dibangun setinggi lebih kurang 5 meter itu berada sekitar 50 meter sebelah kiri SD Islam Sultan Agung 4 Semarang.

Menurut cerita masyarakat, warak merupakan binatang mitologis yang dikenal masyarakat Semarang sebagai simbol akulturasi tiga kebudayaan, yaitu Jawa, Arab, dan China. Patung hewan rekaan ini tubuhnya menyerupai kambing atau buroq dengan kepala mirip ular naga.

Warak berbadan seperti buroq sebagai simbol budaya Arab, bentuk bulu ayam yang berada di tubuh warak sebagai manifestasi budaya Jawa, dan berkepala naga mewakili budaya China. Dalam versi lain, simbol budaya Jawa diwakili oleh kaki warak yang seperti kambing. Konon awal mula keberadaan warak tidak terlepas dari ritual dugderan yang dilakukan warga Semarang untuk menyambut Ramadhan. Ritual dugderan dimulai sejak 1881, ketika Adipati Arya Purbaningrat memerintah Kadipaten Semarang.

Warak Ngendok pun bisa dikatakan merupakan representasi pluralitas dan budaya khas milik warga Semarang. Sebagai bentuk penghargaan atas keunikan dan ciri khas tersebut, Komisi Pemilihan Umum Kota Semarang pun memilih Warak Ngendok sebagai maskot Pemilihan Wali Kota Semarang 2010.

Sayangnya, patung Warak Ngendok di pertigaan Jalan Raden Patah Semarang yang sarat akan makna budaya, historis, dan filosofis tersebut kini kondisinya kurang terawat dengan baik. Beberapa waktu lalu, ketika melewati jalan tersebut, penulis sempat berhenti dan mengamati kondisi fisik patung yang sudah tidak utuh. Kaki depan sebelah kanan tampak berlubang besar dan yang paling parah adalah kondisi perut patung warak yang berlubang cukup besar. Selain itu, cat aneka warna yang menghiasi tubuh patung warak tampak sudah agak luntur.

Taman di sekitar patung dipenuhi sampah dan rumput yang sudah meninggi. Tidak ada tulisan yang menjelaskan tentang nama patung atau sejarahnya.

Semoga Pemerintah Kota Semarang tergugah sehingga memerhatikan dan mempercantik patung Warak Ngendok beserta taman di sekelilingnya. Dengan demikian, simbol akulturasi budaya dan pluralisme milik warga Semarang tersebut senantiasa terjaga.



(Tulisan di atas pernah dimuat di koran Kompas Jateng rubrik Kota kita pada Kamis, 4 Maret 2010)



MUHAMMAD NOOR AHSIN
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Unnes,
Pegiat Komunitas Harmoni
Semarang