Senin, 14 November 2011

Biografi Perjalanan Hidup Soe Hok Gie


Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.


Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.


Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

Makam soe Hok Gie
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.
Catatan Seorang Demonstran


John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.
Kata Kata Soe Hok Gie
• Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
• Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
• Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
• Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
• Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
• Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
• Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
• Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
• Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
• Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
• Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
• Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
• Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
• To be a human is to be destroyed.
• Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
• Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
• I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
• Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
• Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
• Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
• Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Referensi :
- http://prasetyaade.blogspot.com/2006/12/presiden-soekarno-presiden-pertama.html
- http://yulian.firdaus.or.id/2004/12/16/soe-hok-gie/
- http://id.wikipedia.org/wiki/Soe_Hok_Gie
- http://dasonly.blogspot.com/2009/05/soe-hok-gie-dalam-kata-kata.html

Persiapan Pentas Teater MA NU TBS

Beberapa siswa kelas XI D melakukan latihan pentas teater pada hari Selasa, 15 November 2011 di ruang multi media lantai III MA NU TBS Kudus. Mereka berkumpul tiap kelompoknya masing-masing untuk membahas persiapan pentas teater.

Dalam satu kelas saya bagi menjadi empat kelompok. Tiap kelompok berjumlah sekitar 10 orang. Dalam satu kelompok ada yang jadi sutradara, pemain, seksi perlengkapan dan sebagainya. Beberapa siswa yang jadi pemain naskah drama ada yang sedang berlatih vokal, dialog, gerakan tubuh ketika pentas dan lain-lain. Tampak dari mereka sangat menikmati latihan tersebut.

Sebenarnya pentas ini merupakan tugas akhir semester mata pelajaran sastra. Yaitu tugas praktik. Sebelumya mereka saya beri penjelasan tentang materi pementasan drama. Selain itu manyaksikan contoh video pemantasan drama dan sebagainya.

Harapan dari tugas ini siswa akan mendapatkan pengalaman langsung dalam bermain teater atau drama. Praktik langsung itu dirasa sangat penting. Karena dengan praktik mereka lebih memahami dan merasa mampu mengaplikasikan ilmu sastra yang diperoleh.

Pementasan awal untuk kelas XI D akan dilaksanakan pada hari Selasa, 22 November 2011. pada hari selasa nanti kelompok yang akan pentas yaitu kelompok 1 dan kelompk 2. kelompok satu di sutradarai oleh Faiq Zamzami. Sedangkan kelompok 2 disutrasdarai oleh yahya Abdul Hanif.
Untuk kelompok 3 dan kelompok 4 rencananya akan dilaksanakan pada hari Kamis, 24 November 2011. kelompok 3 disutradarai oleh Sirrul Wafa. Sedangkan kelompok 4 disutradarai oleh Abidirouf Asmawi.


Oleh Muhammad Noor Ahsin

Perjalananku Menuju Madrasah TBS Kudus

Kala itu, matahari mulai menyinari rumahku, di desa di Besito Kauman Kecamatan Gebog Kudus,pada hari Seni, 14 November 2011. Setelah berpakaian rapi, Aku bergegas ke luar rumah. Setelah siap, lalu aku berangkat menuju sekolah di MA NU TBS Kudus. Dengan menggunakan sepeda motor, saya Menuju ke arah selatan. Dari perempatan di Toko milik Bung tomo lalu aku belok ke kanan. Kurang lebih sekitar 200 meter saya sampai di jalan raya. Jalan raya Besito raya. Di sebuah pertigaan, sebelah utara kantor BRI unit Gebog. Sebelumnya saya melihat orang-orang bermain di lapangan voli, di sebelah kiri jalan, dan juga ada tempat selepan padi di kanan jalan.

Setelah melihat ke kiri dan ke kanan, aku langsung meluncur menggunakan motor Shogun merahku ke sebelah selatan. Melewati pasar Besito Kecamatan Gebog lalu lurus ada pabrik benang yang kebanyakan orang menyebutnya dengan nama Tubantia. Selang beberapa menit sampai di perempatan Besito. Di perempatan Besito laju kendaraan saya tidak saya percepat. Karena di situ ada bayak siswa siswa berseragam putih biru dari sisi kiri jalan yang akan menyeberang ke kanan jalan. Mereka adalah murid-murid SMP 2 Gebog. Biasanya kalau pagi di perempatan besito memang selalu ramai.

Dari perempatan itu lalu saya meluncur ke selatan. Melewati desa Karang Malang. Di kiri dan kanan jalan banyak saya jumpai berbagai tanaman. Yang hijau dan menambah suasana jadi tambah asyik. Tidak lama berselang saya telah melewati perempatan panjang, yang ada di barat. Lalu saya meluncur lagi ke selatan. Melewati rumah tukang sunan, yaitu pak totok yang ada di desa peganjaran. Lalu melewati pertigaan gribig, kemudian sampailah di pertigaan sebelah selatan pabrik elektronik Polytron di kota Kudus.

Dari pertigaan itu lalu saya ambil arah ke kiri. Meuju ke arah perempatan sutjen. Jika pagi hari, di perempatan sutjen ini saya selalu menjumpai seseoang lelaki yang berdiri di tengah jalan. Sambil membawa sempritan. Pakaiannnya seperti pakaian polisi. Ia memamai baju warna coklat, dengan penutup kepala mirip seorang polisi. Pakaiannya kelihatan lusuh. Tubuh orang itu pun sangat jauh dari kesan gagah. Tubuhnya kurus dan agak dekil. Kulihat juga ada pistol mainan dari kayu yang diselipkan di pinggangnya sebelah kanan.

Dia sebenarnya tidak seorang polisi. Menurut beberapa orang yang pernah kutanyai. Orang tersebut dulu memang ingin menjadi seorang polisi. Karena cita-citanya tidak kesampaian mentalnya pun terganggu. Tapi dia tidak galak. Bahkan baik hati membantu orang lain dengan “menjadi polantas amatir” di perempatan sutjen. Jasanya memang banyak. Walaupun tidak pernah digaji, tapi dia tetap setia menjadi seorang polantas di pagi hari. Terkadang, orang yang kasihan pun menghampirinya dengan memberikan uang, rokok, bungkus jajanan dan sebagainya. Hal itu menunjukkkan bahwa masyarakat meilimki kepedulian social yang tinggi terhadap orang tersebut.

Dari perempatan itu lalu saya menuju kea rah timur, yaitu melewati jalan KH Turaichan Adjuri. Di jalan inilah kalau pagi banyak para siswa dan masyarkat yang lewat. Para siswa berpeci pun banyak. Karena sebagian besar yang lewat adalah para siswa yang sekolah di TBS. di sebelah kana nada MI TBS, selang beberapa meter pun kulewati gedung MTs TBS. kemudian saya lurus lalu sampailah pada sebuah gedung di sebelah kiri jalan yang cukup megah. Gedung tersebut terdiri dari tiga lantai yang membujur panjang ke utara. Catnya berwarna hijau, dengan halaman yang cukup luas. Di depan gedung terdapat beberapa pohon peneuh yang cukup rimbun. Pohon ini cukup memberikan kesejukan dan membuat suasana semakin asri. Di depan gedung tersebut ada sebuah papan hijau yang tulisannya berwarna putih. Di papan itu ada tulisan MA NU TBS Kudus dengan tulisan yang tegas.

Di depan gerbang gedung tersebut tengah ada seseorang yang berdiri. Seorang yang tingginya kurang lebih 165 cm. dengan memakai topi dan baju warna putih. Serta celana warna biru. Sambil membawa sempritan ia membantu para siswa untuk menyabrang. Ia adalah pak satpam MA NU TBS Kudus yang bernama Bp. Sadarudin. Atau kadang dipanggil dengan mas Sadaruddin, hal itu karena usianya yang memang masih sangat muda sekitar 21 tahun. Bersambung………..